Mine-Petra Sihombing

Kamis, 02 Maret 2017

Permainan Sebagai Sarana Pengantar Pendidikan untuk Anak-Anak

Permainan Sebagai Sarana Pengantar Pendidikan Untuk Anak-Anak
Oleh: Muhammad Andi Fitrahman 
NIM: 1614015048
Kelas: Sastra Indonesia B



Ancak-ancak ale
Alene kebo  bule
Andheng-andheng
Nemplok dhewe

Berikut adalah syair lagu dari sebuah permainan yang biasa saya mainkan bersama teman-teman dimasa kanak-kanak, secara ramai-ramai atau minimal lebih dari lima orang. Permainan ini hampir sama dengan permainan ular naga yang biasa dimainkan oleh murid-murid TK dan SD. Hanya saja ada poin-poin penting yang membedakannya yakni, terletak pada syair dan sedikit aturan permainannya. Sebetulnya jika ditinjau dari kemurniannya. Syair yang biasa kami nyanyikan untuk mengiringi permainan Ancak-ancak ale atau alis tersebut, tidak sepenuhnya sesuai dengan aslinya. Mengapa ? Sebab, syair aslinya itu sangat panjang yang tidak memungkinkan bagi kami untuk mengingatnya dan kemungkinan akan sering terjadi percekcokan karena kesalahan urutan syair. Karena, masa kanak-kanak kami tidak tinggal ditanah jawa melainkan tinggal di tanah perantauan dan tidak sepenuhnya menguasai bahasa jawa dengan sempurna. Jadi, oleh anak-anak generasi pertama yang telah tinggal di tanah perantauan dilakukan penyesuaian budaya yang bertujuan untuk mempermudah dan tetap bisa melestarikan permainan tersebut walaupun ada perubahan syair dan aturan mainnya.
Permainan atau bahasa jawa menyebutkan dengan dholanan merupakan suatu bentuk kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan kepuasan bathin tiap individunya. Umumnya seperti itu. Walaupun terkadang ada yang menyela bahwa permainan merupakan sebuah ajang untuk adu kehebatan. Menurut saya, alasan tersebut tetap tidak bisa memungkiri. Sebab, tujuannya tetap sama yaitu merujuk pada kalimat untuk mendapatkan kepuasan bathin. Dan sepertinya hal tersebut tidak harus diperdebatkan lebih jauh lagi. Jika membahas tentang permainan, satu pertanyaan yang timbul dalam benak saya adalah Ada apa dengan permainan ? Yang saya tahu dulu permainan hanyalah suatu kegiatan untuk bersenang-senang. Akan tetapi, setelah saya beranjak dewasa. Ada kecenderungan makna lain yang melintas dipikiran saya ketika memikirkan yang namanya istilah permainan itu. Yaitu ibrah atau pembelajaran apa yang bisa kita petik dari sebuah permainan tersebut. Seperti halnya sebuah peristiwa, dalam sebuah permainan pun memiliki ibrah yang bisa kita petik juga. Contohnya, permainan Ancak-ancak ale. Ibrah yang pertama yang bisa kita petik adalah sebelum memutuskan perkara apapun kita dibiasakan untuk melakukan musyawarah atau perundingan. Dimana ketika akan memulai permainan ini kita melakukan Hom-pim-pah atau cing-ciripit terlebih dahulu untuk menentukan dua orang yang akan menjadi induk atau pelaku utama, hal ini sesuai dengan kesepakatan bersama. Jadi, Sebelum diajarkan di sekolah seperti apa perundingan dan musyawarah itu. Sebenarnya anak-anak kala itu telah mengetahui walaupun hanya garis besarnya hanya saja mereka tidak menyadari.
Ibrah yang kedua ialah kita dilatih untuk selalu ceria dalam menjalani hidup ini sebab, keceriaan sama halnya dengan melawak yang menurut Sutardji Calzoum Bachri bisa menyegarkan jiwa (Bachri 2007:90) walaupun yang kita tahu hidup ini tidak selamanya mulus. Akan tetapi, juga dihadapkan oleh sebuah masalah yang tidak disangka-sangka. Hal ini, digambarkan dalam proses permainannya yaitu anak-anak yang berbaris seperti ular berkeliling dan melintasi sebuah terowongan (dari tangan  dua induk yang berhadapan dan berpeganggan  kemudian ditinggikan). Mereka lakukan dengan ceria seakan tidak ada permasalahan apapun. Padahal dihadapannya ada masalah yang akan menjeratnya. Sebagaimana diperingatkan dalam syair dua bait terakhirnya andheng-andheng nemplok dhewe yakni tahi lalat menempel sendiri. Bila dimaknai tahi lalat bisa diartikan sesuatu keburukan yang kita tahu timbulnya tak disangka-sangka. Yang pasti, selama kita menghadapi dengan hati dan jiwa yang tenang permasalahan apapun yang menimpa akan tetap mudah dihalau.
Kemudian yang selanjutnya ialah kita dituntut untuk menaati peraturan. Meskipun ini hanya sekedar permainan. Akan tetapi, ada hal-hal yang mengikat dan mengatur demi kesempurnaan permainan ini. Seperti halnya pada proses pengurungan, anak yang telah terjebak atau terkurung harus menerima untuk dipisahkan dari barisan ular dan menerima jadi bahan perebutan untuk dijadikan anak dari salah satu induk tersebut dan tidak diperbolehkan untuk memilih siapa yang ingin ia jadikan induk. Peraturan tetap peraturan tidak ada kebebasan memilih bagi anak yang telah menjadi korban, walaupun kebebasan memilih adalah prinsip universal yang tidak ada pengecualian seperti spekulasi Mikhail Gorbachev (Munandar 2008:204). Jadi, jangan dianggap sepele sebuah peraturan yang telah disepakati meskipun itu hanya permainan. Perlu diingat baik itu permainan ataupun pemerintahan ketika didalamnya telah ditetapkan sebuah peraturan dan telah disepakati bersama itu tidak bisa diganggu gugat lagi sebab sebelumnya telah ada kesepakatan bersama.
Dan yang terakhir adalah sikap bertanggung jawab bagi seorang pemimpin. Induk yang telah memenangkan atau memiliki semua anak harus bisa bertanggung jawab dan menjamin keselamatan anak-anaknya dari amukan induk satunya yang ingin merebut anak-anaknya. Kita diajarkan harus tegas dan bertanggung jawab atas amanah yang kita terima dan selalu siap menghadapi permasalahan yang akan muncul.
Jadi, permainan ancak-ancak ale ini seperti panggung sandiwara untuk latihan menjalani kehidupan dan sikap menghadapi masalah hidup yang datang seperti tahi lalat dan menghadapinya dengan hati yang tenang dan tegas seperti kemarahan kerbau bule yang artinya tidak main-main, sesuai syair dua bait pertama Ancak-ancak ale alene kebo bule.
Dan kita harus tahu permainan merupakan sarana paling mudah untuk mengenalkan pendidikan terhadap anak-anak. Apalagi permainan yang ada unsur sastranya, kita dapat menyelipkan maksud atau pembelajaran dalam sebuah syair. Sebab Budi Dharma pernah mengatakan Sastra dianggap sebagai sarana pendidikan moral (Dharma 1995:105). Dan bisa jadi juga kita berbagi pengetahuan dan pengalaman yang bermanfaat lewat sebuah karya sastra. Suatu wawasan sastra jelas merupakan wawasan pribadi setiap pengarang (Lubis 2009:3).


Sumber Referensi:
Bachri, Sutardji Calzoum. 2007. ISYARAT KUMPULAN ESAI. Indonesiatera: Yogyakarta
Munandar, Haris. 2008. PIDATO-PIDATO YANG MENGUBAH DUNIA. Erlangga: Jakarta
Dharma, Budi. 1995. Glagah: Yogyakarta

Lubis, Mochtar. 2009. Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta