Permainan Sebagai Sarana Pengantar
Pendidikan Untuk Anak-Anak
Oleh: Muhammad Andi Fitrahman
NIM: 1614015048
Kelas: Sastra Indonesia B
Ancak-ancak ale
Alene kebo bule
Andheng-andheng
Nemplok dhewe
Berikut adalah syair lagu dari sebuah permainan yang
biasa saya mainkan bersama teman-teman dimasa kanak-kanak, secara ramai-ramai
atau minimal lebih dari lima orang. Permainan ini hampir sama dengan permainan ular naga yang biasa dimainkan oleh murid-murid
TK dan SD. Hanya saja ada poin-poin penting yang membedakannya yakni, terletak
pada syair dan sedikit aturan permainannya. Sebetulnya jika ditinjau dari
kemurniannya. Syair yang biasa kami nyanyikan untuk mengiringi permainan Ancak-ancak ale atau alis tersebut, tidak sepenuhnya sesuai dengan aslinya. Mengapa ? Sebab, syair
aslinya itu sangat panjang yang tidak memungkinkan bagi kami untuk mengingatnya
dan kemungkinan akan sering terjadi percekcokan karena kesalahan urutan syair.
Karena, masa kanak-kanak kami tidak tinggal ditanah jawa melainkan tinggal di
tanah perantauan dan tidak sepenuhnya menguasai bahasa jawa dengan sempurna.
Jadi, oleh anak-anak generasi pertama yang telah tinggal di tanah perantauan
dilakukan penyesuaian budaya yang bertujuan untuk mempermudah dan tetap bisa
melestarikan permainan tersebut walaupun ada perubahan syair dan aturan
mainnya.
Permainan atau bahasa jawa menyebutkan dengan dholanan merupakan suatu bentuk kegiatan
yang dilakukan untuk mendapatkan kepuasan bathin tiap individunya. Umumnya
seperti itu. Walaupun terkadang ada yang menyela bahwa permainan merupakan
sebuah ajang untuk adu kehebatan. Menurut saya, alasan tersebut tetap tidak
bisa memungkiri. Sebab, tujuannya tetap sama yaitu merujuk pada kalimat untuk mendapatkan kepuasan bathin. Dan
sepertinya hal tersebut tidak harus diperdebatkan lebih jauh lagi. Jika
membahas tentang permainan, satu pertanyaan yang timbul dalam benak saya adalah
Ada apa dengan permainan ? Yang saya tahu dulu permainan hanyalah suatu
kegiatan untuk bersenang-senang. Akan tetapi, setelah saya beranjak dewasa. Ada
kecenderungan makna lain yang melintas dipikiran saya ketika memikirkan yang
namanya istilah permainan itu. Yaitu ibrah
atau pembelajaran apa yang bisa kita petik dari sebuah permainan tersebut.
Seperti halnya sebuah peristiwa, dalam sebuah permainan pun memiliki ibrah yang bisa kita petik juga. Contohnya,
permainan Ancak-ancak ale. Ibrah yang
pertama yang bisa kita petik adalah sebelum memutuskan perkara apapun kita
dibiasakan untuk melakukan musyawarah atau perundingan. Dimana ketika akan
memulai permainan ini kita melakukan Hom-pim-pah
atau cing-ciripit terlebih dahulu
untuk menentukan dua orang yang akan menjadi induk atau pelaku utama, hal ini
sesuai dengan kesepakatan bersama. Jadi, Sebelum diajarkan di sekolah seperti
apa perundingan dan musyawarah itu. Sebenarnya anak-anak kala itu telah mengetahui
walaupun hanya garis besarnya hanya saja mereka tidak menyadari.
Ibrah yang
kedua ialah kita dilatih untuk selalu ceria dalam menjalani hidup ini sebab,
keceriaan sama halnya dengan melawak yang menurut Sutardji Calzoum Bachri bisa menyegarkan jiwa (Bachri 2007:90) walaupun
yang kita tahu hidup ini tidak selamanya mulus. Akan tetapi, juga dihadapkan
oleh sebuah masalah yang tidak disangka-sangka. Hal ini, digambarkan dalam
proses permainannya yaitu anak-anak yang berbaris seperti ular berkeliling dan
melintasi sebuah terowongan (dari tangan
dua induk yang berhadapan dan berpeganggan kemudian ditinggikan). Mereka lakukan dengan
ceria seakan tidak ada permasalahan apapun. Padahal dihadapannya ada masalah yang
akan menjeratnya. Sebagaimana diperingatkan dalam syair dua bait terakhirnya andheng-andheng nemplok dhewe yakni tahi
lalat menempel sendiri. Bila dimaknai tahi lalat bisa diartikan sesuatu
keburukan yang kita tahu timbulnya tak disangka-sangka. Yang pasti, selama kita
menghadapi dengan hati dan jiwa yang tenang permasalahan apapun yang menimpa
akan tetap mudah dihalau.
Kemudian yang selanjutnya ialah kita dituntut untuk
menaati peraturan. Meskipun ini hanya sekedar permainan. Akan tetapi, ada
hal-hal yang mengikat dan mengatur demi kesempurnaan permainan ini. Seperti
halnya pada proses pengurungan, anak yang telah terjebak atau terkurung harus
menerima untuk dipisahkan dari barisan ular dan menerima jadi bahan perebutan
untuk dijadikan anak dari salah satu induk tersebut dan tidak diperbolehkan
untuk memilih siapa yang ingin ia jadikan induk. Peraturan tetap peraturan
tidak ada kebebasan memilih bagi anak yang telah menjadi korban, walaupun kebebasan
memilih adalah prinsip universal yang tidak ada pengecualian seperti spekulasi
Mikhail Gorbachev (Munandar 2008:204). Jadi, jangan dianggap sepele sebuah peraturan
yang telah disepakati meskipun itu hanya permainan. Perlu diingat baik itu
permainan ataupun pemerintahan ketika didalamnya telah ditetapkan sebuah
peraturan dan telah disepakati bersama itu tidak bisa diganggu gugat lagi sebab
sebelumnya telah ada kesepakatan bersama.
Dan yang terakhir adalah sikap bertanggung jawab
bagi seorang pemimpin. Induk yang telah memenangkan atau memiliki semua anak
harus bisa bertanggung jawab dan menjamin keselamatan anak-anaknya dari amukan
induk satunya yang ingin merebut anak-anaknya. Kita diajarkan harus tegas dan
bertanggung jawab atas amanah yang kita terima dan selalu siap menghadapi
permasalahan yang akan muncul.
Jadi, permainan ancak-ancak ale ini seperti panggung
sandiwara untuk latihan menjalani kehidupan dan sikap menghadapi masalah hidup
yang datang seperti tahi lalat dan menghadapinya dengan hati yang tenang dan
tegas seperti kemarahan kerbau bule yang artinya tidak main-main, sesuai syair
dua bait pertama Ancak-ancak ale alene
kebo bule.
Dan kita harus tahu permainan merupakan sarana
paling mudah untuk mengenalkan pendidikan terhadap anak-anak. Apalagi permainan
yang ada unsur sastranya, kita dapat menyelipkan maksud atau pembelajaran dalam
sebuah syair. Sebab Budi Dharma pernah mengatakan Sastra dianggap sebagai sarana pendidikan moral (Dharma 1995:105).
Dan bisa jadi juga kita berbagi pengetahuan dan pengalaman yang bermanfaat
lewat sebuah karya sastra. Suatu wawasan sastra jelas merupakan wawasan pribadi
setiap pengarang (Lubis 2009:3).
Sumber Referensi:
Bachri, Sutardji Calzoum. 2007. ISYARAT KUMPULAN ESAI. Indonesiatera:
Yogyakarta
Munandar, Haris. 2008. PIDATO-PIDATO YANG MENGUBAH DUNIA. Erlangga: Jakarta
Dharma, Budi. 1995. Glagah: Yogyakarta
Lubis, Mochtar. 2009. Yayasan Pustaka Obor
Indonesia: Jakarta