Mine-Petra Sihombing

Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

Selasa, 02 Mei 2017

Nyanyian Rakyat Jawa “E dayohe teko”

Nyanyian Rakyat Jawa “E dayohe teko
Oleh: Muhammad Andi Fitrahman

Nyanyian rakyat atau dalam ilmu folklor disebut dengan folksongs. Menurut Jan Harold Brunvand, nyanyian rakyat merupakan bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu(Danadjaja, 2007:141). Nyanyian rakyat memiliki varian sebab penyebarannya yang luas dan secara lisan sebagaimana dongeng. Jika membahas tentang nyanyian rakyat di Indonesia pasti tanggapannya O.. banyak sekali! Bagaimana tidak, suku di Indonesia terkenal dengan jumlah dan macam-macamnya yang sangat banyak. Jadi, tidak salah lagi jika nyanyian rakyatnya juga begitu banyak.


Dalam pembahasan ini saya akan membahas sebuah nyanyian rakyat jawa yaitu “E dayohe teko”. Bagi masyarakat Jawa yang Jawa, pasti tidak asing dengan lagu atau tembang ini. Sebuah lagu yang sangat cocok untuk memberikan petuah bahkan jika ingin menyampakan berpuluh-puluh petuah tetap tidak masalah. Sebab, lirik lagu tersebut selalu berlanjut sesuai yang menyanyikan sanggup merangkai kata sampai dia tidak sanggup lagi. Maka, tidak salah jika lagu tersebut memiliki beberapa varian. Berikut adalah lirik dasarnya:


E dayohe teko
E   dayohe  teko
E  gelarno  kloso
E  klosone  bedah
E  tembelen  jadah
E  jadahe  mambu
E  pakakno  asu
E  asune  mati
E  buak en  kali
E  kaline  banjir
E  buak en  pinggir


Terjemahan:

E tamunya datang
E  tamunya  datang
E  gelarkan  tikar
E  tikarnya  robek
E  tambalkan  jadah
E  jadahnya  bau
E  kasihkan  anjing
E  anjingnya  mati
E  buang  ke sungai
E  sungainya  banjir
E  buang  ke pinggir


Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya lirik di atas merupakan lirik dasar. Mengapa saya menyebutnya dasar?  Sebab lirik tersebut jika kita tinjau dan membaca beberapa literasi akan ada beberapa varian setelah lirik E buak en pinggir. Bahkan tidak hanya lirik setelah itu kata buak en tersebut dalam beberapa varian ada yang memakai kata guak en, kelek no dan lain sebagainya. Tapi hal itu tidak dipermasalahkan sebab maksud tujuannya juga sama yakni, untuk membuangnya.

Untuk masalah penerjemahan lirik, sekiranya itu sudah tepat sesuai dengan arti baku dari per kata dan dapat dimengerti. Jadi, tidak perlu bersusah payah menerjemahkan kata atau menentukan arti yang sekiranya tepat dengan kata aslinya. Perlu diketahui bahasa jawa dalam hal penerjemahan ke bahasa Indonesia tidak serumit bahasa Inggris yang menurut saya tidak konsisten, arti baku dari kata tertentu jika dipakai dalam sebuah kalimat bisa berubah arti dan maknanya. Bahasa jawa tidak demikian, jika kata baku berarti (….) dan ketika digunakan dalam kalimat artinya pun akan sama (.…) tidak ada perubahan. Misalnya, kata “Yang” dalam bahasa jawa “seng” dan ketika dipakai dalam kalimat tetap memakai “seng” bukan yang lain. Beda dengan bahasa inggris untuk kata “Yang” dapat memakai that, who, what, bukankah ketiga kata tersebut memiliki arti dasar sendiri? Berikut sedikit pengetahuan tentang penerjemahan bahasa jawa.

Baik, kembali lagi kepembahasan lagu E dayohe teko. Karena pada penjelasan sebelumnya saya mengatakan bahwa akan membahas lagu tersebut. Jadi, sah-sah saja jika saya membahas ke yang lain tidak hanya seputar arti ataupun makna yang terpenting tetap dalam wilayah pembahasan lagu E dayohe teko. Untuk arti mungkin sudah dapat dimengerti dan untuk makna mungkin saya akan membahas sedikit. Sebab sudah banyak literasi-literasi yang mengulas makna pada lagu tersebut.. Dan Perlu diketahui dalam hal penafsiran atau pemaknaan ada beberapa varian, kenapa saya mengatakan seperti itu? Sebab, ada beberapa tipe pemaknaan ada yang menggunakan persepektif dari rangkainan kalimat, ada yang menggunakan dari perspektif rujukan kata(maksud kata atau menelusuri kata tersebut sebenarnya tersirat dalam bahasa apa) dan lain sebagainya. Sama seperti pemaknaan dalam lagu ini saya mencoba menggunakan pemahaman makna kalimat dan rujukan beberapa literasi.

 Dalam kalimat E dayohe teko, bahwasanya kita harus tahu kalau dikehidupan ini kita tidak terlepas dengan yang namanya hal-hal yang akan datang menghampiri kita entah itu tamu yang berupa manusia, takdir, nasib, masalah ataupun yang lainnya.

E gelarno kloso, setelah kita memahami dan menyadari bahwa dalam kehidupan kita akan menerima hal-hal yang akan menghampiri maka kita disarankan untuk menggelarkan atau meluaskan hati dan ikhlas sebagaiman tikar yang ikhlas menerima sesuatu yang diletakkan diatasnya dan walaupun diinjak-injak.

E klosone bedah, Nah disini kita mendapatkan masalah yakni, tikarnya rusak atau robek yang dapat dimaknai bahwa hati atau wadah perasaan manusia ini dapat mengalami sebuah kerusakan atau perlu kita ingat dibeberapa manusia pasti ada hatinya yang telah rusak sehingga tidak mampu menahan masalah yang datang.

E  tambalno jadah(makanan jawa yang lengket). Ketika hati telah rusak dan tidak mampu menahan masalah-masalah yang akan datang. Maka perlu yang namanya perbaikan, tidak harus dengan perihal yang muluk-muluk semisal sampai diruqiyah, dengan solusi apapun walaupun itu sederhana yang terpenting mampu mengembalikan hati sebagaiman fungsinya.

E  jadahe mambu, Jika solusi yang sederhana itu juga tidak mampu mengembalikan hati kita maka solusi tersebut menjadi sia-sia belaka.

E  pakakno asu, Jika solusi tersebut tidak merespon sama sekali dengan hati yang telah rusak itu. Mungkin ada baiknya jika solusi itu kita bagikan kepada orang lain siapa tahu, jika orang lain yang menggunakan akan lebih bermanfaat.

E  asune mati, tapi terkadang solusi yang kita berikan ke orang lain juga tidak berefek maka hal itu lebih menjadi sia-sia lagi.

E  buak en kali, coba dibagikan dimasyarakat kira-kira seperti apa menjadi sesuatu yang bermanfaat atau malah menjadi masalah.

E  kaline banjir, dan jika benar malah menjadi masalah besar. E  buak en pinggir, Maka bisa kita simpulkan bahwa sekecil apapun cara, solusi ataupun pendapat kita perlu hati-hati, pahami terlebih dahulu kira-kira bermanfaat atau malah menjadi masalah bagi orang lain apalagi jika kita mencoba sebarluaskan. Dan solusi terakhirnya jika hasilnya begitu. Baiknya kita ambil kembali dan jangan disebarluaskan lagi.

Demikian pemaknaan singkat dari lagu E dayohe teko. Yang membuat menarik dari lagu ini adalah bahwa dikehidupan ini kita akan selalu dihadapi sebuah masalah tapi jangan khawatir setiap masalah pasti ada solusinya walaupun berakhir panjang sebagaimana lagu tersebut yang terus berjalan, bait pertama sebagai masalah maka bait kedua sebagai solusi begitu seterusnya. Selain itu, ada fakta menarik dari lagu ini terhadap suku jawa. Jika umumnya kita mendapat atau menerima informasi terbaru kita mengucapkan kata “O”  sebagai respon atau jawaban bahwa kita baru tahu. Suku jawa pun seperti itu namun beda kata yang diucapkan bukan kata “O” melainkan “E” khususnya orang jawa yang masih jawa.

Semoga kalian semua dapat memahami beberapa kata tersirat saya. Hal tersebut semata saya mengajak kalian untuk dapat merasakan pula atmosfer yang saya bahas ini setidaknya turut “berpikir” memikirkan maksud-maksud kata atau kalimat-kalimat tersirat saya. Melalui tulisan ini saya sangat berharap agar budaya Indonesia tetap terlestarikan dan memotivasi para penerus bangsa khususnya. Agar lebih perduli, kritis akan sesuatu yang kecil maupun yang besar dan memahami kondisi bangsa kita.

Referensi:

Danandjaja, James. 2007. Folklor INDONESIA. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti

Selasa, 18 April 2017

Sang Perantau, Pendiri Kota Samarinda

TUGAS MATA KULIAH
TRADISI SASTRA NUSANTARA

Sebuah ulasan tentang deskripsi perjalanan, penjelasan definisi Legenda, Profil La Mohang Daeng Mangkona dan Kesimpulan




SANG PERANTAU, PENDIRI KOTA SAMARINDA



Oleh:
Muhammad Andi Fitrahman
1614015048
Sastra Indonesia B












1. Deskripsi perjalanan

Di dalam proses perkuliahan terdapat dua macam pembelajaran, yaitu: studi ruang dan studi lapangan yang bertujuan agar mahasiswa setelah menerima materi dapat langsung menerapkan dan terjun ke lapangan untuk mengaplikasikan ilmu yang diterima. Begitu halnya dengan apa yang saya alami. Setelah menerima materi tentang Legenda dalam mata kuliah Tradisi Sastra Nusantara. Kami mahasiswa sastra indonesia sebagai penerus pelestari sastra dan budaya dianjurkan untuk berziarah dan mencari tahu lebih jauh tentang seorang tokoh pendiri kota Samarinda yang legendanya belum terungkap lebih jelas dan bahkan masyarakat belum banyak yang mengetahui.

Pada tanggal 8 April 2017, kami mahasiswa sastra Indonesia angkatan 2016 kelas A dan B berkumpul di kampus Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman. Sesuai kesepakatan bersama bahwa pada hari dan tanggal tersebut kami akan berziarah ke makam La Mohang Daeng Mangkona sekaligus mencari tahu lebih jauh tentang beliau dan sejarah berdirinya kota Samarinda.

Sebelum berangkat kami berdoa terlebih dahulu agar diberi keselamatan dalam perjalanan yang dipimpin langsung oleh dosen mata kuliah Tradisi Sastra Nusantara dan setelah itu kami pun berangkat. Lokasi pemakaman terletak di Samarinda seberang(samarinda lama) yang berada di Jalan Abd. Rasyid, Kampung Wisata Tenun Samarinda. Ketika masuk di wilayah Kampung Wisata Tenun Samarinda, kami dibuat kagum oleh kekokohan masjid tua di Samarinda, Masjid Shiratal Mustaqiem yang memang masyarakat setempat benar-benar menjaga dan merawatnya.

Sesampainya di lokasi pemakaman kami disambut baik oleh penjaga makam sekaligus juru kuncinya yang bernama bapak Abdillah. Kami dipersilahkan masuk ke dalam pendopo yang memang makam La mohang daeng mangkona telah dipugar dan dibangun pendopo pada tahun 1994 sebagai bentuk kepedulian oleh walikota saat itu.



Setelah masing-masing dari kami memberikan doa kepada almarhum La Mohang Daeng Mangkona. Kami dipersilahkan mengajukan pertanyaan kepada juru kuncinya. Beliau menjawab dan menjelaskan semua pertanyaan dengan bahasa yang bersahabat dan terkadang membuat humor sehingga kami tidak merasa jenuh ataupun merasa takut karena berada di area pemakaman.



Setelah kami rasa cukup mengajukan pertanyaan maka kami memohon diri ke belakang pendopo untuk melihat beberapa makam pengikut La Mohang Daeng Mangkona yang di makamkan di sekitar pemakaman tersebut.



Semua pertanyaan telah diajukan, mengelilingi area pemakaman sekaligus mengambil beberapa gambar telah dilakukan dan suara azan zuhur pun telah berkumandang di Masjid-masjid sekitar. Maka hal itu menunjukkan bahwa waktu kami untuk berziarah telah usai. Dosen kami selaku ketua rombongan mengucapkan terima kasih atas waktu yang telah diluangkan juru kunci kepada kami dan berpamitan pulang yang diikuti para  mahasiswa.

2. Legenda

a.     Pengertian Legenda

Istilah Legenda mungkin tidak asing lagi di telinga kita apalagi istilah tersebut pernah digunakan sebagai judul film di stasiun-stasiun televisi swasta ataupun judul buku bacaan. Legenda menurut KBBI adalah cerita rakyat berkaitan dengan sejarah (Supeno, 2015:284). Bisa juga dikatakan sebagai cerita prosa rakyat yang dianggap oleh empunya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi (Danandjaja, 2007:66). Jadi, bisa disimpulkan bahwa Legenda itu merupakan cerita dari rakyat atau masyarakat lokal yang benar-benar terjadi dan kebenarannya dapat dirujuk.

Legenda merupakan bagian dari cerita prosa rakyat bersama dengan mitos, dongeng dan lain-lain yang masuk ke dalam pembahasan ilmu Folklor. Legenda bersifat sekuler yang membahas tentang keduniawian, yang terjadinya dalam masa yang belum terlalu lama dan bertempat di dunia seperti dunia yang kita tempati ini bukan seperti mitos yang sebagian bertempat di kahyangan ataupun yang lainnya. Legenda juga bersifat migratoris yakni, dapat berpindah-pindah, sehingga dikenal luas ke daerah-daerah lainnya.

Menurut Alan Dundes seorang ilmuwan folklor tentang legenda (Danandjaja, 2007:67):
a)      Kemungkinan besar bahwa jumlah legenda disetiap kebudayaan jauh lebih banyak daripada mitos dan dongeng.
b)      Mempunyai jumlah tipe dasar yang tidak terbatas.
c)      Setiap zaman akan menyumbangkan legenda-legenda baru.

Jan Harold Brunvand menggolongkan legenda menjadi 4 macam (Danandjaj, 2007:67), yaitu:

a)      Legenda keagamaan (religious legends)
b)      Legenda alam gaib (supernatural legends)
c)      Legenda perseorangan (personal legends)
d)     Legenda setempat (local legends)

Contoh legenda:
a)      Legenda Wali Sanga (legenda keagamaan)
b)      Legenda Genderuwo (legenda alam gaib)
c)      Legenda Si Pitung (legenda perseorangan)
d)     Legenda kota Surabaya (legenda setempat)

Bagaimanapun baik legenda maupun mitos tetap termasuk dalam bagian kesusastraan dan merupakan bagian kekayaan budaya dari suatu bangsa yang patut dijaga kemurnian dan keberadaannya. Apalagi bangsa Indonesia ini terkenal dengan keragaman sukunya yang masing-masing suku memiliki subsukunya dan memiliki kebudayaan masing-masing. Ini  adalah tugas kita sebagai generasi penerus bangsa untuk menjaganya. Tumbuhkan rasa cinta terhadap kesusastraan, berikan pandangan kesusastraan sebagai sesuatu yang penting salah satunya sebagai, fakta kemanusiaan sebagaimana pandangan Lucien Goldmann (Susanto, 2016:120). Lucien Goldmann merupakan filsuf yang memperkenalkan teori strukturalisme genetis, sebuah teori yang paling sering digunakan untuk merujuk kebenaran suatu legenda maupun sebagai teori penelitian permasalahan lain. Dan juga jadikan kesuastraan sebagai sarana dokumen sosial dan sebagai potret kenyataan sosial (Budianta, 1995:122)

3. Profil La Mohang Daeng Mangkona

          La Mohang Daeng Mangkona merupakan seorang tokoh terkenal di Sulawesi Selatan  kala itu. Beliau merupakan salah satu orang penting di kerajaan wajo. Ketika Kolonial Belanda datang dan menaklukkan Sulawesi Selatan. Banyak kerajaan dan masyarakat setempat tidak terima, apalagi harus menerima perjanjian Bungaya. Namun karena kerajaan Gowa merupakan kerajaan tertinggi di Sulawesi Selatan maka diterimalah perjanjian tersebut yang di tanda tangani oleh Sultan Hasanuddin. Lain orang lain juga keinginan, daripada harus tunduk kepada kolonial Belanda maka La Mohang Daeng Mangkona bersama rombongannya pergi meninggalkan tanah kelahirannya dan pada akhirnya singgah di pulau Borneo(Kalimantan).

            Selain bersama rombongannya yang kurang lebih 200 orang, La Mohang Daeng Mangkona juga pergi bersama bangsawan Wajo yang lain seperti La Ma’dukelleng pendiri daerah  Tanah Gerogot yang sekarang menjadi ibukota kabupaten Paser. Pada awalnya mereka tinggal di wilayah kerajaan Paser. Namun, setelah daerah pemukiman semakin penuh ditambah lagi para migrasi yang datang. Maka La Ma’dukelleng mengadakan perundingan dengan pengikut dan bangsawan yang lain. Dan diputuskan bahwa sebagian pindah ke wilayah kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura yang dipimpin La Mohang Daeng Mangkona. Sekitar tahun 1668, La Mohang Daeng Mangkona bersama rombongannya datang ke kerajaan Kutai meminta izin kepada Pangeran Dipati Modjo Kusumo selaku penguasa kerajaan Kutai kala itu untuk tinggal dan menetap diwilayahnya, maka diberikanlah tempat yang bernama Tanah Rendah sebagai tempat bermukim dan diberi hak untuk mengelola daerah tersebut dengan syarat tidak boleh mendirikan kerajaan dan tetap berada dibawah kekuasaan kerajaan Kutai Kartanegara  Ing Martadipura dan menjaga daerah tersebut dari penjajah yang datang.

            La Mohang Daeng Mangkona pun memulai membuka lahan tersebut dibantu oleh para pengikutnya. Setalah lahan terbuka dibangunlah rumah-rumah yang tingginya sama sebagai lambang bahwa drajat semua sama, di tepi sungai Mahakam membujur dari hilir ke hulu. Sebagai penganut agama islam yang setia dan fanatik, maka kebudayaan agama islam cepat berkembang seiring pertumbuhan ekonomi. Tak ayal, jika banyak masyarakat pendatang merasa nyaman dan betah tinggal di daerah tersebut karena letak geografis dan iklim yang bagus serta tanahnya yang subur memang sangat menarik hati. La Mohang Daeng Mangkona dan beberapa para pengikutnya meninggal dan dimakamkan di daerah tersebut yang bila kita rujuk sekarang berada di Kampung Wisata Tenun Samarinda, jalan Abd. Rasyid. Seiring berjalannya waktu daerah tersebut semakin ramai. Dan daerah tersebut dikenal dengan nama “SAMA RENDAH” yang kemudian hari menjadi “SAMARINDA” karena memang lokasinya yang sama-sama rendah serta penduduknya yang menerima kesetaraan derajat  dan setiapa tanggal 21 Januari diperingati sebagai hari jadi kota Samarinda, diambil dari tanggal tibanya La Mohang Daeng Mangkona di Tanah Rendah.

            Demikianlah sejarah kota Samarinda yang sekarang menjadi  ibukota provinsi Kalimantan Timur. Seorang perantau dari tanah seberang bersama para pengikutnya yang rela meninggalkan tanah kelahirannya daripada tunduk dibawah kekuasaan penjajah dengan berpegang teguh sebuah prinsip suku bugis, filsafat 3 ujung yaitu, ujung lidah, ujung badik dan ujung zakar. Tetap dianut dan dipegang teguh secara turun-temurun. Dengan prinsip tersebut mereka merantau dan menetap di tanah perantauan dan akhirnya mendapatkan balasan yang setimpal yakni mendapatkan daerah yang lebih baik dan menjadi seorang tokoh terkenal, sang perantau pendiri kota di tanah seberang.

4. Kesimpulan dari seorang tokoh La Mohang Daeng Mangkona

Memang benar kehidupan merupakan sebuah misteri yang sangat besar, tidak ada satupun manusia yang bakal mengetahui dimana ia akan dilahirkan, bagaimana kehidupannya dan dimana ia akan mati. Sebagaimana yang dialami La Mohang Daeng Mangkona ia tidak akan tahu bahwa takdir kehidupan dan akhir kehidupannya bukan di tanah kelahirannya melainkan di tanah seberang yang jauh dari mata memandang. Namun, sebagai seorang manusia kita hanya bisa menjalani dan siap menghadapi, berani menentang terhadap suatu  kesalahan walaupun itu menakutkan dan berani mengambil keputusan walaupun harus menghadapi kepahitan. Tapi, ingatlah sebagai seorang yang beragama semua permasalahan seperti itu hanya sebuah ujian  dan setiap ujian  jika kita menghadapi dengan hati yang ikhlas dan jiwa yang tegar akan berakhir dengan kebahagiaan.

Dan ingatlah pula ketika kita menanam kebaikan dimana saja pasti kita akan memetik kebaikan itu dimana pun kita berada. Jagalah kepercayaan yang  telah diberikan oleh orang lain dan tunjukkan sikap tanggung jawab, hal itu akan memberikan efek keikhlasan dari hati sang pemberi kepercayaan. Dan juga jagalah lisan dan perilaku dimana pun kita berada agar mudah diterima oleh orang lain.

Berikut merupakan nilai-nilai positif dari perjalanan hidup seorang La Mohang Daeng Mangkona, seorang yang tawakal, tegar, qanaah, bertanggung jawab dan dapat menempatkan diri dimana saja.

 La Mohang Daeng Mangkona sempat tidak dikenal oleh sebagian masyarakat setempat dan setelah ditemukan oleh Muhammad Toha ketika membuka lahan. Keberadaannya mulai dikenal kembali dan menjadi Cagar Budaya Nasional setelah beliau melaporkan ke pegawai Museum Tenggarong kemudian dilaporkan ke pemerintah pusat. Beliau menjadi juru kunci makam yang pertama dan kemudian digantikan oleh anak sulungnya Suriansyah dan sekarang digantikan oleh anak bungsunya Abdillah.

Sebagai seorang calon pelestari sastra dan budaya harapan saya terhadap keberadaan makam La Mohang Daeng Mangkona adalah agar makam tersebut lebih diperdulikan oleh pemerintah kota Samarinda tidak hanya berziarah jika ada maksudnya saja dan harapannya juga dapat dimasukkan kedalam materi pembelajaran sejarah khususnya siswa dan mahasiswa yang berada di Samarinda, supaya keberadaannya lebih dikenal oleh masyarakat setempat dan seluruh warga Indonesia.



Sumber Referensi:

Budianta, Melani. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Danandjaja, James. 2007. Folklor Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti
Maula, Amiruddin. 1994.  Cerita rakyat dari Kalimantan Timur. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia

Drs. Supeno, Ahmad. 2015.  Kamus Praktis Bahasa Indonesia Edisi Terbaru. Yoyakarta: Pyramid Yogyakarta

Susanto, Dwi, S.S., M.Hum. 2016. Pengantar Kajian Sastra. Jakarta: PT. Buku Seru

 



Rabu, 15 Februari 2017

Sekilas Tentang H.B Jassin Terhadap Perkembangan Sastra Indonesia

Sekilas Tentang H.B Jassin Terhadap Perkembangan Sastra Indonesia
Post by Muhammad Andi Fitrahman

Berkas:Hb jassin.jpg

Indonesia adalah Negara yang kaya akan Suku dan Budaya. Salah satu bagian budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah Sastra. Sastra tidak lepas dengan sosok yang disebut dengan manusia sebab sastra bagian dari budaya dan budaya adalah bagian dari manusia itu sendiri. Kemunculan dan kemasyhuran Sastra Indonesia tidak lepas dari tangan-tangan kreatif pendahulu kita. Sebagai generasi baru kita patut bersyukur dan berterimakasih dengan adanya inovasi yang mereka miliki. Sebab, kita bisa belajar dan mengenal apa yang disebut dengan Sastra itu ?.

Salah satu tokoh sastrawan yang sangat berjasa akan kelestarian Sastra Indonesia adalah Hans Bague Jassin atau dikenal dengan sebutas H.B. Jassin. Beliau adalah seorang Kritikus, Sastrawan dan Seniman. H.B. Jassin lahir di Gorontalo, 31 Juli 1917 dan telah mengenyam pendidikan di HIS Gorontalo (1932), HBS-B 5 tahun di Medan (1939), Fakultas Sastra di Universitas Indonesia (1957), di Universitas Yale, Amerika Serikat (1958-1959) dan menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Indonesia (1975) (Jassin, 1994:103).

Kehadiran H.B. Jassin di dunia Sastra sangat berkaitan dengan perkembangan Sastra Indonesia. Bagaimana beliau berinisiatif supaya sejarah, tokoh-tokoh sastrawan dan hal-hal yang menyangkut tentang sastra perlu didokumentasikan supaya kelestarian sastra Indonesia tetap ada , terjaga sepanjang masa dan menghindari terjadinya kepunahan. Dengan adanya pendokumentasian orang-orang dapat membaca, mengkaji ulang dan mengajarkan disekolah-sekolah sehingga tetap terjaga sampai ke generasi selanjutnya. Pusat Dokumentasi Sastra yang sebelumnya bernama Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Didirikan pada tanggal 28 Juni 1976 (Jassin, 1994:6). Pendokumentasian ini berawal dari sebuah hobi mengumpulkan berbagai karya-karya sastrawan, yang ditekuni sejak masih muda. Karena lembaga yang dimiliki H.B. Jassin ini sangat menarik  perhatian. Kemudian mendapat bantuan dari pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (dahulu Lembaga Bahasa Nasional) dan Dewan Kesenian Jakarta  (Jassin, 1994:7). Lambat laun lembaga ini mulai mengalami kemajuan berkat kerja keras dan usaha yang tulus serta bantuan-bantuan yang diberikan.

            Bangsa Indonesia memberikan apresiasi yang besar kepada beliau. Kemasyhuran  dan kebesaran nama sastrawan tetap hidup dan dikenal seperti: Rosihan Anwar, Usmar Ismail, B.H Lubis, Amal Hamzah, Chairil Anwar, Nursjamsu, Anas Ma’ruf, Maria Amin, Bung Usman dan Idrus. Mereka adalah beberapa sastrawan-sastrawati beserta karya-karyanya yang diabadikan dalam Buku Kesusastraan Indonesia Di Masa Jepang. Dari buku itu kita bisa mengenal dan mengetahui bagaimana kondisi Sastra pasca penjajahan Jepang dan pada saat itu kemajuan sastra Indonesia sempat mendapatkan halangan seperti diberhentikan redaksi majalah pujangga baru dengan alasan kebarat-baratan yang menyebabkan berakhirnya masa Angkatan pujangga baru1. Selain itu kita bisa tahu siapa itu sosok sastrawan-sastrawati yang dituliskan dalam buku itu. Seperti Maria Amin Sastrawati dengan karya Dengar keluhan pohon mangga yang mampu lolos sensor dari pemerintah Jepang. Dengan adanya buku itu pula, kelompok tugas pengantar kesusastraan saya, bisa mencantumkan karya itu sebagai contoh aliran sastra simbolik. Bermanfaat bukan? berarti H.B. Jassin secara tidak langsung membantu orang yang sedang mengkaji sastra. Selain Maria Amin ada Chairil Anwar siapa yang tidak kenal dengan lelaki binatang jalang ini. H.B. Jassin berteman baik dengannya dan H.B. Jassinlah yang memberikan gelar Pelopor angkatan 45 untuknya.

Selain seorang kritikus H.B. Jassin disebut juga seorang penelaah sastra Indonesia. Sebagai penelaah sastra Indonesia beliau mengkategorikan menjadi dua bentuk (bahasa beliau lapangan dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia), yakni: Teori dan Kritik Sastra. Dalam Lapangan teori beliau telah menerbitkan Tifa Penyair dan daerahnya sedangkan dalam lapangan kritik sastra, beliau mengumpulkan tulisan-tulisannya yang membahas persoalan-persoalan, karya-karya serta tokoh-tokoh sastra Indonesia dalam buku yang diberinya judul  Kesusastraan Indonesia modern  Dalam Kritik dan Essay (Rosidi, 2013:213).

Dari sekian pembahasan, menurut saya pengaruh dan jasa H.B. Jassin terhadap perkembangan sastra Indonesia ialah sebagai seorang dokumenter sastra Indonesia. Beliau adalah seorang pemerhati kelangsungan sastra Indonesia, bagaimana tidak ?, beliau bersusah payah mencari dan mengumpulkan identitas, surat-surat, tulisan-tulisan tangan dan karya sastra para pengarang (sastrawan) kala itu bahkan foto-fotonya juga, semua itu tidak didapat secara mudah kenapa demikian. Sebab ada beberapa karya yang beliau cari disurat-surat kabar dan majalah. Kemudian disimpan di Pusat Dokumentasi Sastra miliknya,  demi bukti keasriannya ada beberapa kliping yang beliau simpan dalam bentuk guntingan dari surat-surat kabar dan majalah. Semua itu beliau lakukan demi kelestarian dan kelangsungan sastra Indonesia supaya rakyat Indonesia bisa tahu dan  mengkajinya.

Di pusat Dokumentasi Sastra. Kita ini dapat menyelam  ke masa silam kesusastraan Indonesia, masa silam pengarang dan penyair dengan suka-dukanya, kegelisahan, harapan dan kekecewaannya di tengah masyarakat yang sedang bergolak, disitu kita menemui masa silam dalam keutuhannya dan kita merasakan mengalirnya waktu dari masa ke masa. Generasi demi generasi timbul dan pergi, generasi baru tampil dengan gemuruh menggantikan generasi yang tenggelam untuk kemudian digantikan pula oleh generasi yang lain (Jassin, 1994:9-10).

Satu lagi H.B. Jassin yang membawa teori sastra harus dihakimi. Sebab itu yang membuat sastrawan masa kini untuk mengembangkannya dan menyimpulkan bahwa memang benar sastra perlu di kritik. Kritik bukan merusak justru kritik membongkar pikir pengarang yang tidak sempat ia ungkapkan melalu tulisan. itulah yang menjadikan pengarang (sastrawan) abadi, sebab semakin di bahas semakin terkenal pula tokoh sastrawan tersebut.


Sumber Referensi:
Jassin, Hans Bague. 1993. KESUSASTRAAN INDONESIA DI MASA JEPANG. Jakarta: Balai Pustaka
                               . 2013. Chairil Anwar Pelopor ANGKATAN ’45. Jakarta: Balai Pustaka
                               . 1994. KORAN DAN SASTRA INDONESIA. Jakarta: PT Penebar Swadaya
Rosidi, Ajip. 2013. IKHTISAR SEJARAH SASTERA INDONESIA. Bandung: PT. Dunia Pustaka Jaya


Keterangan

Gambar di unduh Selasa, 14 Februari 2017  https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Berkas:Hb_jassin.jpg&filetimestamp=20080308021903&