Mine-Petra Sihombing

Sabtu, 29 April 2017

Ringkasan Polemik Pengadilan Puisi

Ringkasan
Pengadilan Puisi Indonesia
Pamusuk Eneste









Oleh:
Muhammad Andi Fitrahman
1614015048
Sastra Indonesia B



A. Latar Belakang

Setelah terjadinya peristiwa G30S/PKI ternyata banyak polemik-polemik yang timbul. Tidak hanya permasalahan ekonomi maupun politik bahkan di dunia kesusastraan juga. Salah satunya ialah pengadilan puisi. Bermula dari Darmanto Jt yang memperhatikan kehidupan puisi di Indonesia yang menurutnya bahwa penyair Indonesia masih belum bisa keluar dari bayang-bayang sang penyair Chairil Anwar. Kemudian kritikus Indonesia, H.B. Jassin. Yang dibilang terlalu mau mendidik dengan selalu memberi senyuman kepada tiap akademisi, terlalu analisis. Dan membandingkan dengan kritikus yang lain yang menurutnya lebih banyak kritikus yang bertindak sebagai pejabat-pejabat pengadilan: merumuskan tuduhan, mendengarkan saksi-saksi, mendengarkan pembelaan, kemudian memutuskan hukuman. Maka dari itu apa salahnya jika kita meminta pengadilan untuk puisi.

Yang selanjutnya, menurut Sapardi Djoko Damon, gagasan asli pengadilan puisi datang Darmanto  pada tahun 1970  dan dimaksud sebagai badutan. Pada tahun 1972, Darmanto mengumumkan gagasan itu dalam sebuah karangannya yang berjudul “Tentang  Pengadilan Puisi”. Dan baru diwujudkan pada tahun 1974 di Bandung.


B. Persiapan pengadialan puisi Indonesia

Dimulainya acara tersebut setelah surat undangan dari Ketua Yayasan Arena, Djen Amar S.H melalui Sutardji Calzoum Bachri mendapat jawaban dari Taufiq Ismail. Pada mulanya pengadilan puisi akan dilaksanakan pada bulan Agustus namun karena Taufiq Ismail ada kendala maka ketetapan acara dilaksanakan pada 8 September 1974.

Harian Kompas 4 September 1974 menyiarkan acara baca puisi di Bandung yang dihadiri penyair ternama, dari bandung ada Wing Kardjo, Sanento Yuliman, Saini K.M, Sutardji kemudian dari luar kota  ada Muhammad Ali(Surabaya), Darmanto Jt(Semarang), Umbu Landu Paranggi(Yogyakarta), Taufiq Ismail dan Slamet Kirnanto(Jakarta). Selain pembacaan puisi akan diadakan pula pengadilan puisi dan dibuka untuk umum.

Dua jam sebelum acara dimulai Djen Amar dan Sanento Yuliman memberikan penjelasan kepada Taufiq Ismail mengenai pengadilan puisi mutakhir itu. Bahwa rekan-rekan dari Bandung menginginkan bentuk yang beda dari pembahasan kesusastraan. Dan diambillah gagasan Darmanto berupa pengadilan yang nyata. Puisi Mutakhir Indonesia menjadi terdakwa,  Slamet Kirnanto dijadikan jaksa, hakim ketua Sanento Yuliman, hakim pendamping Darmanto Jt, Taufiq Ismail dan Sapardi Djoko Damono ditawari menjadi pembela namun karena Sapardi tidak datang karena kurang enak badan maka Taufiq meminta Handrawan Nadesul sebagai penggantinya. Sedangkan saksi dibagi menjadi dua  golongan, yang memberatkan dan yang meringankan. Golongan pertama ada Sutardji, Sides Sudyarto, Abdul Hadi dan Pamusuk Eneste sedangkan golongan kedua ada saini K.M, Wing Kardjo, Adri Darmadji dan Yudhistira Ardi Noegraha. Sama seperti pada tim pembela  karena Muhammad Ali dan Umbu Landu Paranggi tidak datang personalia saksi diubah.


C. Berlangsungnya Acara

Sebuah kursi kosong diletakkan di tengah ruangan pengadilan, sebagai tempat terdakwa yang tak berjasad(Puisi Mutakhir Indonesia), para hakim telah duduk(meja mereka ditutup dengan beledu hijau sedangkan untuk palu memakai batu yang dibungkus koran), begitupun dengan jaksa, saksi dan pembela telah duduk ditempatnya masing-masing. Hadirin kala itu sekitar 200 orang yang bertempat di Aula Universitas Parahyangan.

.  Slamet Kirnanto membacakan tuntutannya dengan judul “Semangat Zola 76 Tahun yang lalu” dan ada beberapa kalimat pertama yang membuat orang-orang yang hadir terngiang-ngiang: “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-akhir ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!”. Begitu ucapnya.

Dakwaannya berupa sejumlah kejengkelan terhadap kritikus puisi, Khususnya M.S. Hutagalung dan H.B. Jassin. M.S Hutagalung yang menjagokan Subagio Sastrowardoyo dan H.B. Jassin yang menjagokan W.S. Rendra, mereka tidak ada sedikitpun membicarakan Sutardji Calzoum Bachri dan Darmanto Jt yang membawa “Gejala Pembaharuan”. Selain itu ia juga membahas polemik-polemik yang terjadi  antara dua kritikus diatas menurut pengamatannya. Tembakan-tembakan kejengkelan ia bicarakan dalam pengadilan  tersebut. Tidak hanya kepada kritikus Slamet juga ada menyebut-nyebut media sastra Horison dan Budaya Jaya yang tidak mampu lagi menjalankan perannya dan mengatakan bahwa media tersebut telah menjadi majalah keluarga sebab hanya penyair-penyair itu-itu saja yang dilirik dan masih banyak lagi. Intinya ada empat poin tuntutannya, yaitu:

Tuntutan yang pertama: para kritikus tidak mampu lagi mengikuti perkembangan puisi mutakhir, khususnya dua kritikus diatas harus “dipensiunkan”.
Tuntutan yang Kedua: Para editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono) dicutibesarkan.
Tuntutan yang ketiga: Para penyair mapan seperti Subagio, rendra, Goenawan dan sebangsanya dilarang menulis puisi dan para epigonnya harus dikenakan hukum pembuangan, kemudian inkarnasinya dibuang dipulau paling terpencil.
Tuntutan yang keempat: Horison dan Budaya Jaya harus dicabut Surat Izin Terbitnya dan yang sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku dan dilarang untuk dibaca peminat sastra serta masyarakat umum. Hal itu sesuai dengan “Kitab Undang-undang Hukum Puisi”.

Setelah jaksa menyelesaikan pembicaraan tuntutannya maka sekarang giliran saksi yang memberikan kesaksiannya dan dapat diduga. Sutardi si kucing Riau memberikan kesaksian dengan semangat yang menempeleng tinggi bahkan ia merencanakan pembakaran Horison yang dianggapnya majalah “Diktaktor”. Abdul Hadi yang menurut surat kabar Bandung akan menyerang Goenawan(menurut jaksa yang berita tersebut dibuat oleh Hadi sendiri). Hadi mengatakan bahwa sastra Indonesia buruk, belum sebagus sastr jawa Kuno. Sides beranggapan bahwa sesudah Chairil, tidak ada puisi ditulis lagi di Indonesia. Saini kembali mengemukakan jalur persajakan Indonesia diantara yang paling Nampak dewasa ini dalah jalur yang diciptakan Goenawan, disempurnakan Sapardi  dan diikuti Abdul Hadi. Adri dan Yudhistira berpendapat bahwa “Puisi Indonesia baik-baik dan sehat-sehat saja badannya”.

Usai para saksi memberikan kesaksiannya maka hakim mempersilahkan hadirin memberikan kesaksian pula. Ada Sembilan orang dari hadirin maju. Diantaranya,  Vredi Kastama  Marta, pengarang drama syekh siti jenar, merasa gusar sebab dia jauh-jauhdari sukabumi hanya untuk menonton “promosi murahan” dan mengajukan supaya hakim nanti setelah acara meminta maaf pada puisi Indonesia. Rustandi Kartakusuma menyebut pengadilan ini hanya permainan kanak-kanak dan berpendapat bahwa sastra Indonesia sesudah Chairil, Cuma Kitsch.  Hidayat LPD setuju dengan pengadilan seperti ini, menyokong teori Saini dan menegaskan bahwa Abdul hadi adalah penyair epigon. Sumartana mensinyalir bahwa dalam acara ini  para penyair onani bersama, berpuas-puas diri. Puisi sekarang tidak ada yang ada hanyalah rangkaian kata. Dami N. Toda mengemumakan gejalaepigonisme “Universal”.

Pembela menolak empat diktum tuduhan jaksa. Semangat larang-melarang itu tidak sehat sifatnya, tidak baik untuk kesehatan ginjal penyair. Terutama ginjal kanan, mereka yang epigon biarkan saja, kenapa mesti diurus. Suatu saat orang kan berkembang? Jangan melawan biologi.

Sidang dihentikan sejenak untuk para hakim menyusun keputusannya dengan mengindahkan Kitab Undang-undang Hukum Puisi, mempertimbangkan Hukum Adat serta membaca Cerita Adat.

Hakim Darmanto menolak semua tuntutan jaksa. Diputuskannya pula bahwa puisi mutakhir Indonesia memang ada, Cuma belum berkembang, bunyi keputusannya sebagai berikut:

Pertama, Para kritikus sastra tetap diizinkan untuk menulis dan mengembangkan kegiatan serta meneruskan eksistensinya dengan catatan harus segera mengikuti kursus penaikan mutu dalam Sekolah Kritikus Sastra.
Kedua, Para redaktur Horison tetap diizinkan terus memegang jabatan mereka, selama tidak merasa malu.
Ketiga, Para penyair mapan masih diberi peluang untuk berkembang. Begitu juga para penyair epigon dan inkarnasinya. Boleh tetap menulis dengan keharusan segera masuk kedalam Panti Asuhan atau Rumah perawatan epigon.
 Keempat, majalah sastra Horison tidak perlu dicabut SIT-nya, hanya saja dibelakang namanya harus diembel-embeli kata “Baru”.

Demikian keputusan hakim. Jaksa Slamet Kirnanto tidak merasa puas dan menyatakan naik banding ke pengadilan yang lebih tinggi. Dan hakim membolehkan dilain waktu dan di kota lain.


D. Tanggapan Dari Tokoh-Tokoh yang Dibahas dalam Acara tersebut

1. Goenawan Mohammad

Goenawan memberikan penilaian baik terhadap acara Pengadilan Puisi Indonesia sebagai bentuk diskusi yang menarik dibanding sebelumnya yang membosankan atau kurang daya tarik. Walaupun ia tidak ada disana karena tidak mendapatkan undangan sebagaimana yang lain. Tidak menjadi masalah sebab ia juga sedang sibuk menulis.

Mengenai tuntutan Slamet Kirnanto, Goenawan mengatakan bahwa itu merupakan gerutu lama dan klise itu hanya sebuah bentuk kontroversial untuk menarik khalayak supaya berkerumun. Selain membahas tuntutan jaksa, Goenawan juga membahas hakim, isi pembicaraan, tentang penyair yang sudah “Established” dan tentang kehidupan puisi.

Menurutnya hakim dalam acara tersebut adalah burung hantu bukan burung merak. Dan yang lebih penting ia mendapat kesan dari pembicaraan dalam “pengadilan” itu bagaimana para penyair sibuk dengan dirinya sendiri seolah-olah keadaan mereka yang paling gawat kala itu dan merekalah yang diperlakukan tidak adil di Indonesia kala itu juga oleh para kritikus dan majalah. Selanjutnya masalah penyair yang sudah Established, ia membiarkan saja sebab setiap seniman akan memperoleh dan memperlihatkan pola tertentu, pantulan dari kepribadiannya. Menurutnya perubahan  selamanya berarti perubahan dari sesuatu dan yang tetap. Dan yang terakhir tentang kehidupan puisi jikalau nantinya subagio, Rendra, Taufiq dan lainnya tidak lagi menghasilkan sesuatu pun yang berharga, tidak usah panic cukup baca kembali buku-buku puisi yang dulu atau yang lain yang masih kita senangi atau kalau mau buat sendiri. Sebab tokoh kita menurutnya adalah puisi bukan penyair. Yang kita butuhkan adalah puisi yang berharga hingga yang lebih baik.


2. M.S. Hutagalung

Pada dasarnya “pengadilan puisi” yang diadakan di bandung tidak banyak member kesan kepada Hutagalung. Yang pertama berbagai macam pertanyaanya terlalu umum dan hampir tidak ada artinya karena sering tidak didukung oleh argumentasi dan pembuktian yang ada seperti tidak ada puisi setelah Chairil Anwar. Ia juga mengatakan agar jangan timbul kesan bahwa ia dengan penuh emosi dan kemarahan akan tampil pada forum tersebut. Ia juga membahas pembicaraan Slamet yang membanggakan dan menonjolkan Sutardji, mengamuk dan bertanya “Apakah kritik sastra diIndonesia telah mati sebelum hidup?” Lantas Hutagalung memberikan pendapatnya bahwa pendapat Slamet itu bau apak karena kelambatan kritikus untuk membicarakan Sutardji bukanlah alasan bahwa kritik sastra tidak ada. Dari mulai sampai akhir dakwaan Slamet, Hutagalung mengatakan bahwa slamet telah menyeleweng dari mau mengadili pusis telah mengarahkan dakwaannya pada kritikus dan beberapa penyair yang dianggap telah mapan. Dari semua tulisan yang ia tulis sebagai jawaban atas Slamet Kirnanto pada buku PENGADILAN PUISI ada empat poin yang penting, yaitu:

1)      Pandangan-pandangan Slamet Kirnanto adalah pandangan yang tidak sehat, bau apak yang cukup berbahaya bagi generasi muda, terutama karena ia menganggap dirinya sebagai pembela seniman-seniman muda.
2)      Hutagalung berpendapat bahwa sebuah pertanyaan tidak ada harganya tanpa disertai bukti-bukti.
3)      Tidak benarnya bahwa puisi Indonesia brengsek adalah akibat kesalahan para kritikus. Itu hanya sudut pandang Slamet saja yang brengsek dan perkembangan sastra tidak hanya ditentukan oleh beberapa kritikus.
4)      Untuk menilai seseorang, lebih baik langsung meneliti karyanya.


3. Sapardi Djoko Damono

Pada saat diselenggarakannya pengadilan puisi Indonesia memang Sapardi menerima undangan untuk turut hadir namun karena kendala kesehatan maka ia tidak bisa datang. Setelah membaca naskah tuntutan Slamet Kirnanto yang diperoleh dari Pamusuk Eneste ia merasa tidak sesuatu yang kocak sebagaimana cerita beberapa teman yang ikut hadir dalam acara tersebut. Sapardi menyimpulkan bahwa tuntutan Slamet Kirnanto itu ditulis dengan bahasa yang buruk, tidak berisi hal-hal baru, dan tidak kocak.
Barangkali kita harus harus menghargai keberanian Slamet yang tampil di Bandung pada acara itu. Namun Sapardi berpendapat bahwa Slamet adalah tokoh yang terlalu serius untuk pertemuan semacam itu. Suasana pasti akan lebih kocak seandainya Darmanto Jt yang menjadi Jaksa. Dan harus kita hargai kecerdikan akal Darmanto Jt yang telah menghasilkan sebuah pertemuan yang unik.


4. H.B. Jassin

Saat diselenggarakannya pengadilan puisi Indonesia H.B. Jassin tidak turut hadir sebab tidak ada undangan untuknya. Ia baru mengetahui setelah dua hari diselenggarakan acara tersebut setelah membaca laporan “Pengadilan Puisi Kontemporer” dalam harian Kompas tanggal 10 September 1974. Sebelum mengetahui secara pasti Jassin mengira bahwa acara tersebut bersifat pengadilan imajiner yang disusun oleh pelapornya dari bahan-bahan yang dikumpulkannya dengan mewawancarai orang-orang yang ditampilkan dalam laporannya itu. Namun setelah ia tahu dari para mahasiswa bahwa “pengadilan” itu benar-benar terjadi, terwujud bukan  sekadar imajiner, nyata. Kesan pertama kali Jassin ialah bahwa laporan tersebut mengandung kelakar yang sehat dan memang seharusnya begitu. Tapi rupanya tidak semua orang yang hadir menangkap maksud yang sesungguhnya, ia menelaah dengan mentah sehingga sebagian merasa tidak puas dan merasa kecewa jauh-jauh datang hanya melihat pertunjukan konyol bahkan orang yang tidak tahu secara pasti dan hanya mengetahui dari surat kabar ada yang salah paham maka terjadilah bahwa ada yang marah dan ada yang tertawa.

Jassin sempat menanyakan pada dirinya sendiri bahwa ia masuk dalam  golongan yang mana? Dan ia memasukkan dirinya sendiri dalam golongan ketiga namun bukan yang merasa marah. Dalam permasalah ini Jassin mencoba memperjelaskan. Terdakwa adalah Puisi Indonesia Mutakhir sedangkan para pengadil adalah penyair Indonesia Mutakhir, lalu apakah mereka mengadili diri sendiri? Bisa dikatakan seperti itu jika para pengadil tidak merasa bersalah dan sekedar hendak mengadili penyair puisi yang bersalah. Dan sudah seharusnya dalam pengadilan ini turut dihadirkan para penyair dan kritikus untuk mempertanggungjawabkan yang disebut sebagai dosa-dosanya. Begitu juga dengan Kitab Undang-undang Hukum Puisi seharusnya disebarluaskan sebagai peganggan umum namun dalam kenyataannya buku tersebut tidak ada.

Beralih kepada rumusan dakwaan  apakah benar-benar situasi perkembangan sastra, khususnya puisi Indonesia sudah tidak sehat dan apakah maksud dengan pembaratan dan kebarat-baratan? Sebenarnya itu hanya kebetulan saja lahir dibarat dan tidak perlu dipermasalahkan. Dan coba kita bayangkan bagaimana kesusastraan tanpa teori-teori barat seperti: psikoanalisis, eksistensialisme, marxisme dan lain-lain. Dan bukankah pengarang Indonesia tidak sedikit yang terpengaruh oleh buku bacaan. Jangan sampai kekurangmengertian pendakwa menjatuhkan korban-korban yang tidak bersalah.

Intinya dalam permasalah ini H.B. Jassin menjadi tokoh penjelas dan pelurus dari tuduhan-tuduhan pendakwa dan mengajak semuanya untuk berpikir lebih luas dan mendasar jangan sampai terpuruk dalam satu sudut pandang.

E. Hasil Akhir

TIGA BELAS hari kemudian, di Teater Fakultas Sastra Universitas Indonesia diadakan suatu majelis dengan judul “Jawaban Atas Pengadilan Puisi”. Dengan empat pembicara utama, yaitu H.B. Jassin, M.S. Hutagalung, Goenawan Muhammad, dan Sapardi Djoko Damono.

Anehnya, Slamet Kirnanto di acara tersebut meminta maaf, sehingga menjadi  ruwet.  Tapi tidak masalah, sudah lama orang tidak “bermarah-marah” dalam lalu-lintas sastra Indonesia. Ini semua ulah ide Darmanto dan tuntutan Slamet Kirnanto yang membuat orang-orang berang. Memang tidak semua lelucon itu lucu bagi semua orang dan tidak semua orang sakit gigi suka berlucu-lucu, dan tidak semua orang suka diperiksa kesehatan giginya (Taufiq Ismail).











Selasa, 18 April 2017

Sang Perantau, Pendiri Kota Samarinda

TUGAS MATA KULIAH
TRADISI SASTRA NUSANTARA

Sebuah ulasan tentang deskripsi perjalanan, penjelasan definisi Legenda, Profil La Mohang Daeng Mangkona dan Kesimpulan




SANG PERANTAU, PENDIRI KOTA SAMARINDA



Oleh:
Muhammad Andi Fitrahman
1614015048
Sastra Indonesia B












1. Deskripsi perjalanan

Di dalam proses perkuliahan terdapat dua macam pembelajaran, yaitu: studi ruang dan studi lapangan yang bertujuan agar mahasiswa setelah menerima materi dapat langsung menerapkan dan terjun ke lapangan untuk mengaplikasikan ilmu yang diterima. Begitu halnya dengan apa yang saya alami. Setelah menerima materi tentang Legenda dalam mata kuliah Tradisi Sastra Nusantara. Kami mahasiswa sastra indonesia sebagai penerus pelestari sastra dan budaya dianjurkan untuk berziarah dan mencari tahu lebih jauh tentang seorang tokoh pendiri kota Samarinda yang legendanya belum terungkap lebih jelas dan bahkan masyarakat belum banyak yang mengetahui.

Pada tanggal 8 April 2017, kami mahasiswa sastra Indonesia angkatan 2016 kelas A dan B berkumpul di kampus Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman. Sesuai kesepakatan bersama bahwa pada hari dan tanggal tersebut kami akan berziarah ke makam La Mohang Daeng Mangkona sekaligus mencari tahu lebih jauh tentang beliau dan sejarah berdirinya kota Samarinda.

Sebelum berangkat kami berdoa terlebih dahulu agar diberi keselamatan dalam perjalanan yang dipimpin langsung oleh dosen mata kuliah Tradisi Sastra Nusantara dan setelah itu kami pun berangkat. Lokasi pemakaman terletak di Samarinda seberang(samarinda lama) yang berada di Jalan Abd. Rasyid, Kampung Wisata Tenun Samarinda. Ketika masuk di wilayah Kampung Wisata Tenun Samarinda, kami dibuat kagum oleh kekokohan masjid tua di Samarinda, Masjid Shiratal Mustaqiem yang memang masyarakat setempat benar-benar menjaga dan merawatnya.

Sesampainya di lokasi pemakaman kami disambut baik oleh penjaga makam sekaligus juru kuncinya yang bernama bapak Abdillah. Kami dipersilahkan masuk ke dalam pendopo yang memang makam La mohang daeng mangkona telah dipugar dan dibangun pendopo pada tahun 1994 sebagai bentuk kepedulian oleh walikota saat itu.



Setelah masing-masing dari kami memberikan doa kepada almarhum La Mohang Daeng Mangkona. Kami dipersilahkan mengajukan pertanyaan kepada juru kuncinya. Beliau menjawab dan menjelaskan semua pertanyaan dengan bahasa yang bersahabat dan terkadang membuat humor sehingga kami tidak merasa jenuh ataupun merasa takut karena berada di area pemakaman.



Setelah kami rasa cukup mengajukan pertanyaan maka kami memohon diri ke belakang pendopo untuk melihat beberapa makam pengikut La Mohang Daeng Mangkona yang di makamkan di sekitar pemakaman tersebut.



Semua pertanyaan telah diajukan, mengelilingi area pemakaman sekaligus mengambil beberapa gambar telah dilakukan dan suara azan zuhur pun telah berkumandang di Masjid-masjid sekitar. Maka hal itu menunjukkan bahwa waktu kami untuk berziarah telah usai. Dosen kami selaku ketua rombongan mengucapkan terima kasih atas waktu yang telah diluangkan juru kunci kepada kami dan berpamitan pulang yang diikuti para  mahasiswa.

2. Legenda

a.     Pengertian Legenda

Istilah Legenda mungkin tidak asing lagi di telinga kita apalagi istilah tersebut pernah digunakan sebagai judul film di stasiun-stasiun televisi swasta ataupun judul buku bacaan. Legenda menurut KBBI adalah cerita rakyat berkaitan dengan sejarah (Supeno, 2015:284). Bisa juga dikatakan sebagai cerita prosa rakyat yang dianggap oleh empunya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi (Danandjaja, 2007:66). Jadi, bisa disimpulkan bahwa Legenda itu merupakan cerita dari rakyat atau masyarakat lokal yang benar-benar terjadi dan kebenarannya dapat dirujuk.

Legenda merupakan bagian dari cerita prosa rakyat bersama dengan mitos, dongeng dan lain-lain yang masuk ke dalam pembahasan ilmu Folklor. Legenda bersifat sekuler yang membahas tentang keduniawian, yang terjadinya dalam masa yang belum terlalu lama dan bertempat di dunia seperti dunia yang kita tempati ini bukan seperti mitos yang sebagian bertempat di kahyangan ataupun yang lainnya. Legenda juga bersifat migratoris yakni, dapat berpindah-pindah, sehingga dikenal luas ke daerah-daerah lainnya.

Menurut Alan Dundes seorang ilmuwan folklor tentang legenda (Danandjaja, 2007:67):
a)      Kemungkinan besar bahwa jumlah legenda disetiap kebudayaan jauh lebih banyak daripada mitos dan dongeng.
b)      Mempunyai jumlah tipe dasar yang tidak terbatas.
c)      Setiap zaman akan menyumbangkan legenda-legenda baru.

Jan Harold Brunvand menggolongkan legenda menjadi 4 macam (Danandjaj, 2007:67), yaitu:

a)      Legenda keagamaan (religious legends)
b)      Legenda alam gaib (supernatural legends)
c)      Legenda perseorangan (personal legends)
d)     Legenda setempat (local legends)

Contoh legenda:
a)      Legenda Wali Sanga (legenda keagamaan)
b)      Legenda Genderuwo (legenda alam gaib)
c)      Legenda Si Pitung (legenda perseorangan)
d)     Legenda kota Surabaya (legenda setempat)

Bagaimanapun baik legenda maupun mitos tetap termasuk dalam bagian kesusastraan dan merupakan bagian kekayaan budaya dari suatu bangsa yang patut dijaga kemurnian dan keberadaannya. Apalagi bangsa Indonesia ini terkenal dengan keragaman sukunya yang masing-masing suku memiliki subsukunya dan memiliki kebudayaan masing-masing. Ini  adalah tugas kita sebagai generasi penerus bangsa untuk menjaganya. Tumbuhkan rasa cinta terhadap kesusastraan, berikan pandangan kesusastraan sebagai sesuatu yang penting salah satunya sebagai, fakta kemanusiaan sebagaimana pandangan Lucien Goldmann (Susanto, 2016:120). Lucien Goldmann merupakan filsuf yang memperkenalkan teori strukturalisme genetis, sebuah teori yang paling sering digunakan untuk merujuk kebenaran suatu legenda maupun sebagai teori penelitian permasalahan lain. Dan juga jadikan kesuastraan sebagai sarana dokumen sosial dan sebagai potret kenyataan sosial (Budianta, 1995:122)

3. Profil La Mohang Daeng Mangkona

          La Mohang Daeng Mangkona merupakan seorang tokoh terkenal di Sulawesi Selatan  kala itu. Beliau merupakan salah satu orang penting di kerajaan wajo. Ketika Kolonial Belanda datang dan menaklukkan Sulawesi Selatan. Banyak kerajaan dan masyarakat setempat tidak terima, apalagi harus menerima perjanjian Bungaya. Namun karena kerajaan Gowa merupakan kerajaan tertinggi di Sulawesi Selatan maka diterimalah perjanjian tersebut yang di tanda tangani oleh Sultan Hasanuddin. Lain orang lain juga keinginan, daripada harus tunduk kepada kolonial Belanda maka La Mohang Daeng Mangkona bersama rombongannya pergi meninggalkan tanah kelahirannya dan pada akhirnya singgah di pulau Borneo(Kalimantan).

            Selain bersama rombongannya yang kurang lebih 200 orang, La Mohang Daeng Mangkona juga pergi bersama bangsawan Wajo yang lain seperti La Ma’dukelleng pendiri daerah  Tanah Gerogot yang sekarang menjadi ibukota kabupaten Paser. Pada awalnya mereka tinggal di wilayah kerajaan Paser. Namun, setelah daerah pemukiman semakin penuh ditambah lagi para migrasi yang datang. Maka La Ma’dukelleng mengadakan perundingan dengan pengikut dan bangsawan yang lain. Dan diputuskan bahwa sebagian pindah ke wilayah kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura yang dipimpin La Mohang Daeng Mangkona. Sekitar tahun 1668, La Mohang Daeng Mangkona bersama rombongannya datang ke kerajaan Kutai meminta izin kepada Pangeran Dipati Modjo Kusumo selaku penguasa kerajaan Kutai kala itu untuk tinggal dan menetap diwilayahnya, maka diberikanlah tempat yang bernama Tanah Rendah sebagai tempat bermukim dan diberi hak untuk mengelola daerah tersebut dengan syarat tidak boleh mendirikan kerajaan dan tetap berada dibawah kekuasaan kerajaan Kutai Kartanegara  Ing Martadipura dan menjaga daerah tersebut dari penjajah yang datang.

            La Mohang Daeng Mangkona pun memulai membuka lahan tersebut dibantu oleh para pengikutnya. Setalah lahan terbuka dibangunlah rumah-rumah yang tingginya sama sebagai lambang bahwa drajat semua sama, di tepi sungai Mahakam membujur dari hilir ke hulu. Sebagai penganut agama islam yang setia dan fanatik, maka kebudayaan agama islam cepat berkembang seiring pertumbuhan ekonomi. Tak ayal, jika banyak masyarakat pendatang merasa nyaman dan betah tinggal di daerah tersebut karena letak geografis dan iklim yang bagus serta tanahnya yang subur memang sangat menarik hati. La Mohang Daeng Mangkona dan beberapa para pengikutnya meninggal dan dimakamkan di daerah tersebut yang bila kita rujuk sekarang berada di Kampung Wisata Tenun Samarinda, jalan Abd. Rasyid. Seiring berjalannya waktu daerah tersebut semakin ramai. Dan daerah tersebut dikenal dengan nama “SAMA RENDAH” yang kemudian hari menjadi “SAMARINDA” karena memang lokasinya yang sama-sama rendah serta penduduknya yang menerima kesetaraan derajat  dan setiapa tanggal 21 Januari diperingati sebagai hari jadi kota Samarinda, diambil dari tanggal tibanya La Mohang Daeng Mangkona di Tanah Rendah.

            Demikianlah sejarah kota Samarinda yang sekarang menjadi  ibukota provinsi Kalimantan Timur. Seorang perantau dari tanah seberang bersama para pengikutnya yang rela meninggalkan tanah kelahirannya daripada tunduk dibawah kekuasaan penjajah dengan berpegang teguh sebuah prinsip suku bugis, filsafat 3 ujung yaitu, ujung lidah, ujung badik dan ujung zakar. Tetap dianut dan dipegang teguh secara turun-temurun. Dengan prinsip tersebut mereka merantau dan menetap di tanah perantauan dan akhirnya mendapatkan balasan yang setimpal yakni mendapatkan daerah yang lebih baik dan menjadi seorang tokoh terkenal, sang perantau pendiri kota di tanah seberang.

4. Kesimpulan dari seorang tokoh La Mohang Daeng Mangkona

Memang benar kehidupan merupakan sebuah misteri yang sangat besar, tidak ada satupun manusia yang bakal mengetahui dimana ia akan dilahirkan, bagaimana kehidupannya dan dimana ia akan mati. Sebagaimana yang dialami La Mohang Daeng Mangkona ia tidak akan tahu bahwa takdir kehidupan dan akhir kehidupannya bukan di tanah kelahirannya melainkan di tanah seberang yang jauh dari mata memandang. Namun, sebagai seorang manusia kita hanya bisa menjalani dan siap menghadapi, berani menentang terhadap suatu  kesalahan walaupun itu menakutkan dan berani mengambil keputusan walaupun harus menghadapi kepahitan. Tapi, ingatlah sebagai seorang yang beragama semua permasalahan seperti itu hanya sebuah ujian  dan setiap ujian  jika kita menghadapi dengan hati yang ikhlas dan jiwa yang tegar akan berakhir dengan kebahagiaan.

Dan ingatlah pula ketika kita menanam kebaikan dimana saja pasti kita akan memetik kebaikan itu dimana pun kita berada. Jagalah kepercayaan yang  telah diberikan oleh orang lain dan tunjukkan sikap tanggung jawab, hal itu akan memberikan efek keikhlasan dari hati sang pemberi kepercayaan. Dan juga jagalah lisan dan perilaku dimana pun kita berada agar mudah diterima oleh orang lain.

Berikut merupakan nilai-nilai positif dari perjalanan hidup seorang La Mohang Daeng Mangkona, seorang yang tawakal, tegar, qanaah, bertanggung jawab dan dapat menempatkan diri dimana saja.

 La Mohang Daeng Mangkona sempat tidak dikenal oleh sebagian masyarakat setempat dan setelah ditemukan oleh Muhammad Toha ketika membuka lahan. Keberadaannya mulai dikenal kembali dan menjadi Cagar Budaya Nasional setelah beliau melaporkan ke pegawai Museum Tenggarong kemudian dilaporkan ke pemerintah pusat. Beliau menjadi juru kunci makam yang pertama dan kemudian digantikan oleh anak sulungnya Suriansyah dan sekarang digantikan oleh anak bungsunya Abdillah.

Sebagai seorang calon pelestari sastra dan budaya harapan saya terhadap keberadaan makam La Mohang Daeng Mangkona adalah agar makam tersebut lebih diperdulikan oleh pemerintah kota Samarinda tidak hanya berziarah jika ada maksudnya saja dan harapannya juga dapat dimasukkan kedalam materi pembelajaran sejarah khususnya siswa dan mahasiswa yang berada di Samarinda, supaya keberadaannya lebih dikenal oleh masyarakat setempat dan seluruh warga Indonesia.



Sumber Referensi:

Budianta, Melani. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Danandjaja, James. 2007. Folklor Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti
Maula, Amiruddin. 1994.  Cerita rakyat dari Kalimantan Timur. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia

Drs. Supeno, Ahmad. 2015.  Kamus Praktis Bahasa Indonesia Edisi Terbaru. Yoyakarta: Pyramid Yogyakarta

Susanto, Dwi, S.S., M.Hum. 2016. Pengantar Kajian Sastra. Jakarta: PT. Buku Seru