Ringkasan
Pengadilan Puisi Indonesia
Pamusuk Eneste
Oleh:
Muhammad Andi Fitrahman
1614015048
Sastra Indonesia B
A. Latar
Belakang
Setelah terjadinya peristiwa G30S/PKI ternyata
banyak polemik-polemik yang timbul. Tidak hanya permasalahan ekonomi maupun
politik bahkan di dunia kesusastraan juga. Salah satunya ialah pengadilan
puisi. Bermula dari Darmanto Jt yang memperhatikan kehidupan puisi di Indonesia
yang menurutnya bahwa penyair Indonesia masih belum bisa keluar dari
bayang-bayang sang penyair Chairil Anwar.
Kemudian kritikus Indonesia, H.B. Jassin. Yang dibilang terlalu mau
mendidik dengan selalu memberi senyuman kepada tiap akademisi, terlalu
analisis. Dan membandingkan dengan kritikus yang lain yang menurutnya lebih
banyak kritikus yang bertindak sebagai pejabat-pejabat pengadilan: merumuskan
tuduhan, mendengarkan saksi-saksi, mendengarkan pembelaan, kemudian memutuskan
hukuman. Maka dari itu apa salahnya jika kita meminta pengadilan untuk puisi.
Yang selanjutnya, menurut Sapardi Djoko Damon,
gagasan asli pengadilan puisi datang Darmanto
pada tahun 1970 dan dimaksud
sebagai badutan. Pada tahun 1972,
Darmanto mengumumkan gagasan itu dalam sebuah karangannya yang berjudul
“Tentang Pengadilan Puisi”. Dan baru
diwujudkan pada tahun 1974 di Bandung.
B. Persiapan
pengadialan puisi Indonesia
Dimulainya acara tersebut setelah surat undangan
dari Ketua Yayasan Arena, Djen Amar S.H melalui Sutardji Calzoum Bachri
mendapat jawaban dari Taufiq Ismail. Pada mulanya pengadilan puisi akan
dilaksanakan pada bulan Agustus namun karena Taufiq Ismail ada kendala maka
ketetapan acara dilaksanakan pada 8 September 1974.
Harian Kompas
4 September 1974 menyiarkan acara baca puisi di Bandung yang dihadiri penyair
ternama, dari bandung ada Wing Kardjo, Sanento Yuliman, Saini K.M, Sutardji
kemudian dari luar kota ada Muhammad
Ali(Surabaya), Darmanto Jt(Semarang), Umbu Landu Paranggi(Yogyakarta), Taufiq
Ismail dan Slamet Kirnanto(Jakarta). Selain pembacaan puisi akan diadakan pula
pengadilan puisi dan dibuka untuk umum.
Dua jam sebelum acara dimulai Djen Amar dan Sanento
Yuliman memberikan penjelasan kepada Taufiq Ismail mengenai pengadilan puisi
mutakhir itu. Bahwa rekan-rekan dari Bandung menginginkan bentuk yang beda dari
pembahasan kesusastraan. Dan diambillah gagasan Darmanto berupa pengadilan yang
nyata. Puisi Mutakhir Indonesia menjadi terdakwa, Slamet Kirnanto dijadikan jaksa, hakim ketua
Sanento Yuliman, hakim pendamping Darmanto Jt, Taufiq Ismail dan Sapardi Djoko
Damono ditawari menjadi pembela namun karena Sapardi tidak datang karena kurang
enak badan maka Taufiq meminta Handrawan Nadesul sebagai penggantinya.
Sedangkan saksi dibagi menjadi dua
golongan, yang memberatkan dan yang meringankan. Golongan pertama ada
Sutardji, Sides Sudyarto, Abdul Hadi dan Pamusuk Eneste sedangkan golongan
kedua ada saini K.M, Wing Kardjo, Adri Darmadji dan Yudhistira Ardi Noegraha.
Sama seperti pada tim pembela karena
Muhammad Ali dan Umbu Landu Paranggi tidak datang personalia saksi diubah.
C.
Berlangsungnya Acara
Sebuah kursi kosong diletakkan di tengah ruangan
pengadilan, sebagai tempat terdakwa yang tak berjasad(Puisi Mutakhir
Indonesia), para hakim telah duduk(meja mereka ditutup dengan beledu hijau
sedangkan untuk palu memakai batu yang dibungkus koran), begitupun dengan
jaksa, saksi dan pembela telah duduk ditempatnya masing-masing. Hadirin kala
itu sekitar 200 orang yang bertempat di Aula Universitas Parahyangan.
. Slamet
Kirnanto membacakan tuntutannya dengan judul “Semangat Zola 76 Tahun yang lalu”
dan ada beberapa kalimat pertama yang membuat orang-orang yang hadir
terngiang-ngiang: “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-akhir ini
Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!”. Begitu ucapnya.
Dakwaannya berupa sejumlah kejengkelan terhadap
kritikus puisi, Khususnya M.S. Hutagalung dan H.B. Jassin. M.S Hutagalung yang
menjagokan Subagio Sastrowardoyo dan H.B. Jassin yang menjagokan W.S. Rendra,
mereka tidak ada sedikitpun membicarakan Sutardji Calzoum Bachri dan Darmanto
Jt yang membawa “Gejala Pembaharuan”. Selain itu ia juga membahas
polemik-polemik yang terjadi antara dua
kritikus diatas menurut pengamatannya. Tembakan-tembakan kejengkelan ia
bicarakan dalam pengadilan tersebut.
Tidak hanya kepada kritikus Slamet juga ada menyebut-nyebut media sastra Horison dan Budaya Jaya yang tidak mampu lagi menjalankan perannya dan
mengatakan bahwa media tersebut telah menjadi majalah keluarga sebab hanya
penyair-penyair itu-itu saja yang dilirik dan masih banyak lagi. Intinya ada
empat poin tuntutannya, yaitu:
Tuntutan yang pertama:
para kritikus tidak mampu lagi mengikuti perkembangan puisi mutakhir, khususnya
dua kritikus diatas harus “dipensiunkan”.
Tuntutan yang Kedua:
Para editor majalah sastra, khususnya Horison
(Sapardi Djoko Damono) dicutibesarkan.
Tuntutan yang ketiga:
Para penyair mapan seperti Subagio, rendra, Goenawan dan sebangsanya dilarang
menulis puisi dan para epigonnya harus dikenakan hukum pembuangan, kemudian
inkarnasinya dibuang dipulau paling terpencil.
Tuntutan yang keempat:
Horison dan Budaya Jaya harus dicabut Surat Izin Terbitnya dan yang sudah
terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku dan dilarang untuk dibaca peminat
sastra serta masyarakat umum. Hal itu sesuai dengan “Kitab Undang-undang Hukum
Puisi”.
Setelah jaksa menyelesaikan pembicaraan tuntutannya
maka sekarang giliran saksi yang memberikan kesaksiannya dan dapat diduga.
Sutardi si kucing Riau memberikan kesaksian dengan semangat yang menempeleng
tinggi bahkan ia merencanakan pembakaran Horison
yang dianggapnya majalah “Diktaktor”. Abdul Hadi yang menurut surat kabar
Bandung akan menyerang Goenawan(menurut jaksa yang berita tersebut dibuat oleh
Hadi sendiri). Hadi mengatakan bahwa sastra Indonesia buruk, belum sebagus
sastr jawa Kuno. Sides beranggapan bahwa sesudah Chairil, tidak ada puisi
ditulis lagi di Indonesia. Saini kembali mengemukakan jalur persajakan
Indonesia diantara yang paling Nampak dewasa ini dalah jalur yang diciptakan
Goenawan, disempurnakan Sapardi dan
diikuti Abdul Hadi. Adri dan Yudhistira berpendapat bahwa “Puisi Indonesia
baik-baik dan sehat-sehat saja badannya”.
Usai para saksi memberikan kesaksiannya maka hakim
mempersilahkan hadirin memberikan kesaksian pula. Ada Sembilan orang dari
hadirin maju. Diantaranya, Vredi Kastama Marta, pengarang drama syekh siti jenar,
merasa gusar sebab dia jauh-jauhdari sukabumi hanya untuk menonton “promosi
murahan” dan mengajukan supaya hakim nanti setelah acara meminta maaf pada
puisi Indonesia. Rustandi Kartakusuma menyebut
pengadilan ini hanya permainan kanak-kanak dan berpendapat bahwa sastra
Indonesia sesudah Chairil, Cuma Kitsch. Hidayat LPD setuju dengan pengadilan
seperti ini, menyokong teori Saini dan menegaskan bahwa Abdul hadi adalah
penyair epigon. Sumartana mensinyalir
bahwa dalam acara ini para penyair onani
bersama, berpuas-puas diri. Puisi sekarang tidak ada yang ada hanyalah
rangkaian kata. Dami N. Toda
mengemumakan gejalaepigonisme “Universal”.
Pembela menolak empat diktum tuduhan jaksa. Semangat
larang-melarang itu tidak sehat sifatnya, tidak baik untuk kesehatan ginjal
penyair. Terutama ginjal kanan, mereka yang epigon biarkan saja, kenapa mesti
diurus. Suatu saat orang kan berkembang? Jangan melawan biologi.
Sidang dihentikan sejenak untuk para hakim menyusun
keputusannya dengan mengindahkan Kitab Undang-undang Hukum Puisi,
mempertimbangkan Hukum Adat serta membaca Cerita Adat.
Hakim Darmanto menolak semua tuntutan jaksa.
Diputuskannya pula bahwa puisi mutakhir Indonesia memang ada, Cuma belum
berkembang, bunyi keputusannya sebagai berikut:
Pertama, Para kritikus sastra tetap diizinkan untuk menulis
dan mengembangkan kegiatan serta meneruskan eksistensinya dengan catatan harus
segera mengikuti kursus penaikan mutu dalam Sekolah Kritikus Sastra.
Kedua, Para redaktur Horison tetap diizinkan terus memegang
jabatan mereka, selama tidak merasa malu.
Ketiga, Para penyair mapan masih diberi peluang untuk
berkembang. Begitu juga para penyair epigon dan inkarnasinya. Boleh tetap
menulis dengan keharusan segera masuk kedalam Panti Asuhan atau Rumah perawatan
epigon.
Keempat, majalah sastra Horison tidak
perlu dicabut SIT-nya, hanya saja dibelakang namanya harus diembel-embeli kata
“Baru”.
Demikian keputusan hakim. Jaksa Slamet Kirnanto
tidak merasa puas dan menyatakan naik banding ke pengadilan yang lebih tinggi. Dan
hakim membolehkan dilain waktu dan di kota lain.
D. Tanggapan
Dari Tokoh-Tokoh yang Dibahas dalam Acara tersebut
1. Goenawan
Mohammad
Goenawan memberikan penilaian baik terhadap acara
Pengadilan Puisi Indonesia sebagai bentuk diskusi yang menarik dibanding
sebelumnya yang membosankan atau kurang daya tarik. Walaupun ia tidak ada
disana karena tidak mendapatkan undangan sebagaimana yang lain. Tidak menjadi
masalah sebab ia juga sedang sibuk menulis.
Mengenai tuntutan Slamet Kirnanto, Goenawan mengatakan
bahwa itu merupakan gerutu lama dan klise itu hanya sebuah bentuk kontroversial
untuk menarik khalayak supaya berkerumun. Selain membahas tuntutan jaksa,
Goenawan juga membahas hakim, isi pembicaraan, tentang penyair yang sudah
“Established” dan tentang kehidupan puisi.
Menurutnya hakim dalam acara tersebut adalah burung
hantu bukan burung merak. Dan yang lebih penting ia mendapat kesan dari
pembicaraan dalam “pengadilan” itu bagaimana para penyair sibuk dengan dirinya
sendiri seolah-olah keadaan mereka yang paling gawat kala itu dan merekalah
yang diperlakukan tidak adil di Indonesia kala itu juga oleh para kritikus dan
majalah. Selanjutnya masalah penyair yang sudah Established, ia membiarkan saja
sebab setiap seniman akan memperoleh dan memperlihatkan pola tertentu, pantulan
dari kepribadiannya. Menurutnya perubahan
selamanya berarti perubahan dari sesuatu dan yang tetap. Dan yang
terakhir tentang kehidupan puisi jikalau nantinya subagio, Rendra, Taufiq dan
lainnya tidak lagi menghasilkan sesuatu pun yang berharga, tidak usah panic
cukup baca kembali buku-buku puisi yang dulu atau yang lain yang masih kita
senangi atau kalau mau buat sendiri. Sebab tokoh kita menurutnya adalah puisi
bukan penyair. Yang kita butuhkan adalah puisi yang berharga hingga yang lebih
baik.
2. M.S.
Hutagalung
Pada dasarnya “pengadilan puisi” yang diadakan di
bandung tidak banyak member kesan kepada Hutagalung. Yang pertama berbagai
macam pertanyaanya terlalu umum dan hampir tidak ada artinya karena sering
tidak didukung oleh argumentasi dan pembuktian yang ada seperti tidak ada puisi
setelah Chairil Anwar. Ia juga mengatakan agar jangan timbul kesan bahwa ia
dengan penuh emosi dan kemarahan akan tampil pada forum tersebut. Ia juga
membahas pembicaraan Slamet yang membanggakan dan menonjolkan Sutardji,
mengamuk dan bertanya “Apakah kritik sastra diIndonesia telah mati sebelum
hidup?” Lantas Hutagalung memberikan pendapatnya bahwa pendapat Slamet itu bau
apak karena kelambatan kritikus untuk membicarakan Sutardji bukanlah alasan bahwa
kritik sastra tidak ada. Dari mulai sampai akhir dakwaan Slamet, Hutagalung
mengatakan bahwa slamet telah menyeleweng dari mau mengadili pusis telah
mengarahkan dakwaannya pada kritikus dan beberapa penyair yang dianggap telah
mapan. Dari semua tulisan yang ia tulis sebagai jawaban atas Slamet Kirnanto
pada buku PENGADILAN PUISI ada empat poin yang penting, yaitu:
1)
Pandangan-pandangan
Slamet Kirnanto adalah pandangan yang tidak sehat, bau apak yang cukup
berbahaya bagi generasi muda, terutama karena ia menganggap dirinya sebagai
pembela seniman-seniman muda.
2)
Hutagalung
berpendapat bahwa sebuah pertanyaan tidak ada harganya tanpa disertai
bukti-bukti.
3)
Tidak benarnya
bahwa puisi Indonesia brengsek adalah akibat kesalahan para kritikus. Itu hanya
sudut pandang Slamet saja yang brengsek dan perkembangan sastra tidak hanya
ditentukan oleh beberapa kritikus.
4)
Untuk menilai
seseorang, lebih baik langsung meneliti karyanya.
3. Sapardi Djoko
Damono
Pada saat diselenggarakannya pengadilan puisi Indonesia
memang Sapardi menerima undangan untuk turut hadir namun karena kendala
kesehatan maka ia tidak bisa datang. Setelah membaca naskah tuntutan Slamet
Kirnanto yang diperoleh dari Pamusuk Eneste ia merasa tidak sesuatu yang kocak
sebagaimana cerita beberapa teman yang ikut hadir dalam acara tersebut. Sapardi
menyimpulkan bahwa tuntutan Slamet Kirnanto itu ditulis dengan bahasa yang
buruk, tidak berisi hal-hal baru, dan tidak kocak.
Barangkali kita harus harus menghargai keberanian
Slamet yang tampil di Bandung pada acara itu. Namun Sapardi berpendapat bahwa
Slamet adalah tokoh yang terlalu serius untuk pertemuan semacam itu. Suasana
pasti akan lebih kocak seandainya Darmanto Jt yang menjadi Jaksa. Dan harus
kita hargai kecerdikan akal Darmanto Jt yang telah menghasilkan sebuah
pertemuan yang unik.
4. H.B. Jassin
Saat diselenggarakannya pengadilan puisi Indonesia
H.B. Jassin tidak turut hadir sebab tidak ada undangan untuknya. Ia baru
mengetahui setelah dua hari diselenggarakan acara tersebut setelah membaca
laporan “Pengadilan Puisi Kontemporer” dalam harian Kompas tanggal 10 September 1974. Sebelum mengetahui secara pasti
Jassin mengira bahwa acara tersebut bersifat pengadilan imajiner yang disusun
oleh pelapornya dari bahan-bahan yang dikumpulkannya dengan mewawancarai
orang-orang yang ditampilkan dalam laporannya itu. Namun setelah ia tahu dari
para mahasiswa bahwa “pengadilan” itu benar-benar terjadi, terwujud bukan sekadar imajiner, nyata. Kesan pertama kali Jassin
ialah bahwa laporan tersebut mengandung kelakar yang sehat dan memang
seharusnya begitu. Tapi rupanya tidak semua orang yang hadir menangkap maksud
yang sesungguhnya, ia menelaah dengan mentah sehingga sebagian merasa tidak
puas dan merasa kecewa jauh-jauh datang hanya melihat pertunjukan konyol bahkan
orang yang tidak tahu secara pasti dan hanya mengetahui dari surat kabar ada
yang salah paham maka terjadilah bahwa ada yang marah dan ada yang tertawa.
Jassin sempat menanyakan pada dirinya sendiri bahwa
ia masuk dalam golongan yang mana? Dan
ia memasukkan dirinya sendiri dalam golongan ketiga namun bukan yang merasa
marah. Dalam permasalah ini Jassin mencoba memperjelaskan. Terdakwa adalah
Puisi Indonesia Mutakhir sedangkan para pengadil adalah penyair Indonesia
Mutakhir, lalu apakah mereka mengadili diri sendiri? Bisa dikatakan seperti itu
jika para pengadil tidak merasa bersalah dan sekedar hendak mengadili penyair
puisi yang bersalah. Dan sudah seharusnya dalam pengadilan ini turut dihadirkan
para penyair dan kritikus untuk mempertanggungjawabkan yang disebut sebagai
dosa-dosanya. Begitu juga dengan Kitab Undang-undang Hukum Puisi seharusnya
disebarluaskan sebagai peganggan umum namun dalam kenyataannya buku tersebut
tidak ada.
Beralih kepada rumusan dakwaan apakah benar-benar situasi perkembangan
sastra, khususnya puisi Indonesia sudah tidak sehat dan apakah maksud dengan
pembaratan dan kebarat-baratan? Sebenarnya itu hanya kebetulan saja lahir
dibarat dan tidak perlu dipermasalahkan. Dan coba kita bayangkan bagaimana
kesusastraan tanpa teori-teori barat seperti: psikoanalisis, eksistensialisme,
marxisme dan lain-lain. Dan bukankah pengarang Indonesia tidak sedikit yang
terpengaruh oleh buku bacaan. Jangan sampai kekurangmengertian pendakwa
menjatuhkan korban-korban yang tidak bersalah.
Intinya dalam permasalah ini H.B. Jassin menjadi
tokoh penjelas dan pelurus dari tuduhan-tuduhan pendakwa dan mengajak semuanya
untuk berpikir lebih luas dan mendasar jangan sampai terpuruk dalam satu sudut
pandang.
E. Hasil Akhir
TIGA BELAS hari kemudian, di Teater Fakultas Sastra Universitas
Indonesia diadakan suatu majelis dengan judul “Jawaban Atas Pengadilan Puisi”.
Dengan empat pembicara utama, yaitu H.B. Jassin, M.S. Hutagalung, Goenawan Muhammad,
dan Sapardi Djoko Damono.
Anehnya, Slamet Kirnanto di acara tersebut meminta
maaf, sehingga menjadi ruwet. Tapi tidak masalah, sudah lama orang tidak
“bermarah-marah” dalam lalu-lintas sastra Indonesia. Ini semua ulah ide Darmanto
dan tuntutan Slamet Kirnanto yang membuat orang-orang berang. Memang tidak
semua lelucon itu lucu bagi semua orang dan tidak semua orang sakit gigi suka
berlucu-lucu, dan tidak semua orang suka diperiksa kesehatan giginya (Taufiq
Ismail).
Best Casino Site: www.777casino.com - Lucky Club
BalasHapusPlay on 777casino.com with UK players. of the biggest online casinos in the world, the world's most 카지노사이트luckclub popular slots machines, the best table games and the best