Mine-Petra Sihombing

Selasa, 02 Mei 2017

Nyanyian Rakyat Jawa “E dayohe teko”

Nyanyian Rakyat Jawa “E dayohe teko
Oleh: Muhammad Andi Fitrahman

Nyanyian rakyat atau dalam ilmu folklor disebut dengan folksongs. Menurut Jan Harold Brunvand, nyanyian rakyat merupakan bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu(Danadjaja, 2007:141). Nyanyian rakyat memiliki varian sebab penyebarannya yang luas dan secara lisan sebagaimana dongeng. Jika membahas tentang nyanyian rakyat di Indonesia pasti tanggapannya O.. banyak sekali! Bagaimana tidak, suku di Indonesia terkenal dengan jumlah dan macam-macamnya yang sangat banyak. Jadi, tidak salah lagi jika nyanyian rakyatnya juga begitu banyak.


Dalam pembahasan ini saya akan membahas sebuah nyanyian rakyat jawa yaitu “E dayohe teko”. Bagi masyarakat Jawa yang Jawa, pasti tidak asing dengan lagu atau tembang ini. Sebuah lagu yang sangat cocok untuk memberikan petuah bahkan jika ingin menyampakan berpuluh-puluh petuah tetap tidak masalah. Sebab, lirik lagu tersebut selalu berlanjut sesuai yang menyanyikan sanggup merangkai kata sampai dia tidak sanggup lagi. Maka, tidak salah jika lagu tersebut memiliki beberapa varian. Berikut adalah lirik dasarnya:


E dayohe teko
E   dayohe  teko
E  gelarno  kloso
E  klosone  bedah
E  tembelen  jadah
E  jadahe  mambu
E  pakakno  asu
E  asune  mati
E  buak en  kali
E  kaline  banjir
E  buak en  pinggir


Terjemahan:

E tamunya datang
E  tamunya  datang
E  gelarkan  tikar
E  tikarnya  robek
E  tambalkan  jadah
E  jadahnya  bau
E  kasihkan  anjing
E  anjingnya  mati
E  buang  ke sungai
E  sungainya  banjir
E  buang  ke pinggir


Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya lirik di atas merupakan lirik dasar. Mengapa saya menyebutnya dasar?  Sebab lirik tersebut jika kita tinjau dan membaca beberapa literasi akan ada beberapa varian setelah lirik E buak en pinggir. Bahkan tidak hanya lirik setelah itu kata buak en tersebut dalam beberapa varian ada yang memakai kata guak en, kelek no dan lain sebagainya. Tapi hal itu tidak dipermasalahkan sebab maksud tujuannya juga sama yakni, untuk membuangnya.

Untuk masalah penerjemahan lirik, sekiranya itu sudah tepat sesuai dengan arti baku dari per kata dan dapat dimengerti. Jadi, tidak perlu bersusah payah menerjemahkan kata atau menentukan arti yang sekiranya tepat dengan kata aslinya. Perlu diketahui bahasa jawa dalam hal penerjemahan ke bahasa Indonesia tidak serumit bahasa Inggris yang menurut saya tidak konsisten, arti baku dari kata tertentu jika dipakai dalam sebuah kalimat bisa berubah arti dan maknanya. Bahasa jawa tidak demikian, jika kata baku berarti (….) dan ketika digunakan dalam kalimat artinya pun akan sama (.…) tidak ada perubahan. Misalnya, kata “Yang” dalam bahasa jawa “seng” dan ketika dipakai dalam kalimat tetap memakai “seng” bukan yang lain. Beda dengan bahasa inggris untuk kata “Yang” dapat memakai that, who, what, bukankah ketiga kata tersebut memiliki arti dasar sendiri? Berikut sedikit pengetahuan tentang penerjemahan bahasa jawa.

Baik, kembali lagi kepembahasan lagu E dayohe teko. Karena pada penjelasan sebelumnya saya mengatakan bahwa akan membahas lagu tersebut. Jadi, sah-sah saja jika saya membahas ke yang lain tidak hanya seputar arti ataupun makna yang terpenting tetap dalam wilayah pembahasan lagu E dayohe teko. Untuk arti mungkin sudah dapat dimengerti dan untuk makna mungkin saya akan membahas sedikit. Sebab sudah banyak literasi-literasi yang mengulas makna pada lagu tersebut.. Dan Perlu diketahui dalam hal penafsiran atau pemaknaan ada beberapa varian, kenapa saya mengatakan seperti itu? Sebab, ada beberapa tipe pemaknaan ada yang menggunakan persepektif dari rangkainan kalimat, ada yang menggunakan dari perspektif rujukan kata(maksud kata atau menelusuri kata tersebut sebenarnya tersirat dalam bahasa apa) dan lain sebagainya. Sama seperti pemaknaan dalam lagu ini saya mencoba menggunakan pemahaman makna kalimat dan rujukan beberapa literasi.

 Dalam kalimat E dayohe teko, bahwasanya kita harus tahu kalau dikehidupan ini kita tidak terlepas dengan yang namanya hal-hal yang akan datang menghampiri kita entah itu tamu yang berupa manusia, takdir, nasib, masalah ataupun yang lainnya.

E gelarno kloso, setelah kita memahami dan menyadari bahwa dalam kehidupan kita akan menerima hal-hal yang akan menghampiri maka kita disarankan untuk menggelarkan atau meluaskan hati dan ikhlas sebagaiman tikar yang ikhlas menerima sesuatu yang diletakkan diatasnya dan walaupun diinjak-injak.

E klosone bedah, Nah disini kita mendapatkan masalah yakni, tikarnya rusak atau robek yang dapat dimaknai bahwa hati atau wadah perasaan manusia ini dapat mengalami sebuah kerusakan atau perlu kita ingat dibeberapa manusia pasti ada hatinya yang telah rusak sehingga tidak mampu menahan masalah yang datang.

E  tambalno jadah(makanan jawa yang lengket). Ketika hati telah rusak dan tidak mampu menahan masalah-masalah yang akan datang. Maka perlu yang namanya perbaikan, tidak harus dengan perihal yang muluk-muluk semisal sampai diruqiyah, dengan solusi apapun walaupun itu sederhana yang terpenting mampu mengembalikan hati sebagaiman fungsinya.

E  jadahe mambu, Jika solusi yang sederhana itu juga tidak mampu mengembalikan hati kita maka solusi tersebut menjadi sia-sia belaka.

E  pakakno asu, Jika solusi tersebut tidak merespon sama sekali dengan hati yang telah rusak itu. Mungkin ada baiknya jika solusi itu kita bagikan kepada orang lain siapa tahu, jika orang lain yang menggunakan akan lebih bermanfaat.

E  asune mati, tapi terkadang solusi yang kita berikan ke orang lain juga tidak berefek maka hal itu lebih menjadi sia-sia lagi.

E  buak en kali, coba dibagikan dimasyarakat kira-kira seperti apa menjadi sesuatu yang bermanfaat atau malah menjadi masalah.

E  kaline banjir, dan jika benar malah menjadi masalah besar. E  buak en pinggir, Maka bisa kita simpulkan bahwa sekecil apapun cara, solusi ataupun pendapat kita perlu hati-hati, pahami terlebih dahulu kira-kira bermanfaat atau malah menjadi masalah bagi orang lain apalagi jika kita mencoba sebarluaskan. Dan solusi terakhirnya jika hasilnya begitu. Baiknya kita ambil kembali dan jangan disebarluaskan lagi.

Demikian pemaknaan singkat dari lagu E dayohe teko. Yang membuat menarik dari lagu ini adalah bahwa dikehidupan ini kita akan selalu dihadapi sebuah masalah tapi jangan khawatir setiap masalah pasti ada solusinya walaupun berakhir panjang sebagaimana lagu tersebut yang terus berjalan, bait pertama sebagai masalah maka bait kedua sebagai solusi begitu seterusnya. Selain itu, ada fakta menarik dari lagu ini terhadap suku jawa. Jika umumnya kita mendapat atau menerima informasi terbaru kita mengucapkan kata “O”  sebagai respon atau jawaban bahwa kita baru tahu. Suku jawa pun seperti itu namun beda kata yang diucapkan bukan kata “O” melainkan “E” khususnya orang jawa yang masih jawa.

Semoga kalian semua dapat memahami beberapa kata tersirat saya. Hal tersebut semata saya mengajak kalian untuk dapat merasakan pula atmosfer yang saya bahas ini setidaknya turut “berpikir” memikirkan maksud-maksud kata atau kalimat-kalimat tersirat saya. Melalui tulisan ini saya sangat berharap agar budaya Indonesia tetap terlestarikan dan memotivasi para penerus bangsa khususnya. Agar lebih perduli, kritis akan sesuatu yang kecil maupun yang besar dan memahami kondisi bangsa kita.

Referensi:

Danandjaja, James. 2007. Folklor INDONESIA. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti

5 komentar:

  1. Tau ini setelah nonton kuntilanak mangkujiwa wkwk

    BalasHapus
  2. Terimakasih. Sangat bermanfaat sekali.
    Izin share πŸ™

    BalasHapus
  3. Artinya bukan seperti itu... Mbah Nun bilang, Kalo masalh mndapat solusi yang salah, akan salah seterusnya bahkan akan merugikan orang lain,lingkungan dan seterusnya... Kloso bedah kok ditambal jadah, jadah mambu kom pakake asu, batang asu kok dibuak ning kali,itulah indahnya nasehat jawa,

    BalasHapus