Sebagian orang
jika mendengar jurusan sastra pasti kalimat yang diucapkan adalah, oh,
yang belajar tentang puisi dan cerpen, ya? Kebanyakan seperti itu. Walaupun
bentuk kalimatnya berbeda, puisi atau cerpen tetap tidak tertinggal saat
menanggapi pembahasan tentang sastra. Tidak masalah. Sebab, itu menjadi ciri
khas pengenal jurusan sastra di mata masyarakat umum. Meskipun kenyataannya
tidak hanya mempelajari itu saja.
Setelah menyelesaikan semester pertama, aku
mulai paham tentang jurusan sastra. Jurusan ini tidak hanya mempelajari seputar
puisi dan cerpen. Ruang pembahasannya sangat luas, bahkan mempelajari tentang
budaya manusia, khususnya di Indonesia. Aku mengambil sastra Indonesia. Dua
minggu yang lalu, dua sahabatku, mengalami kondisi jiwa dan pemikiran yang
aneh. Pasalnya, kami menerima pelajaran tentang mantra di mata kuliah tradisi
sastra nusantara. Tak ayal, sahabatku memiliki spekulasi yang aneh-aneh. Bayu membayangkan
bahwa mantra berhubungan dengan kekuatan seperti dalam film-film dan Faisal
menghubungkan dengan hal mistis. Sedangkan aku hanya diam saja karena tidak
tahu dan memang tidak mau tahu.
Jadi kronologisnya seperti ini. Siang itu
setelah salat Jumat, aku langsung berangkat ke kampus. Kampus kebanggaanku,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman dengan ikon kebanggaannya, mall
SCP–hanya berdekatan saja—sebagai petunjuk bagi mahasiswa yang kuliah di Gunung
Kelua. Itu jika tidak mengetahui di mana letak Fakultas Ilmu Budaya.
Sesampainya di kampus, seperti biasa aku nongkrong bersama dua sahabatku di
bawah gazebo sembari menunggu dosen datang. Dan waktu itu, aku yang memulai
pembicaraan dengan menceritakan mimpi yang aku alami semalam.
“Eh gaes,
semalam aku bermimpi kita itu belajar di sebuah tempat yang mirip dengan
padepokan, lalu kita itu disuruh menulis kata-kata yang diucapkan oleh seorang
kakek tua dan kata-katanya itu aku lupa. Pokoknya aneh dan asing di telingaku,”
kataku.
“Wah, jangan-jangan kamu mau dikasih ilmu itu,
Gas,” sahut Bayu. “Ya Gas, bisa jadi. Soalnya abah aku bilang kalau orang
bermimpi didatangi kakek-kakek dan mengajarkan sesuatu, itu tandanya orang
tersebut dikasih ilmu,” timpal Faisal, mempertegas pendapat Bayu.
“Hah, kalian ini ngaco.
Masih saja percaya yang begituan. Sudahlah, ayo kita masuk kelas,
itu dosen datang,” kataku. Kemudian kami masuk kelas, sedangkan Faisal
merangkul pundak Bayu membisikkan sesuatu yang mungkin berkaitan dengan mimpiku
semalam.
Pelajaran dimulai dan suasana kelas menjadi
lebih berbeda dari hari-hari sebelumnya. Sebab kali ini, dosen membahas tentang
mantra. Dia menjelaskan, bahwa mantra ada kaitannya dengan sastra karena
termasuk kategori puisi lama. Proses belajar-mengajar semakin khidmat. Entah pelajarannya
sedikit sakral atau mungkin memang semuanya tertarik untuk memahami lebih
detail tentang mantra. Aku pun mendengarkan dengan seksama dan sedikit
menggeser posisi kursi supaya lebih nyaman.
Tiba-tiba Bayu membisikkan sesuatu di
telingaku. “Eh Gas, mungkin mimpimu itu ada benarnya. Buktinya kita lagi
diajarkan materi tentang mantra. Mantra itu termasuk ilmu juga, lho,”
ucapnya.
Karena telingaku sudah sedikit jengkel
mendengar pendapat yang aneh-aneh dari Bayu, secara tidak sadar aku menyahutnya
dengan sedikit berteriak. “ Sembarangan!” Serentak teman-teman perhatiannya
beralih kepadaku. Bahkan, dosen pun kaget.
“Bagas, kamu kenapa? Apanya yang sembarangan?”
tanya dosen. Dengan sedikit malu, aku menjawab dengan alasan lain. “E anu, Pak.
Tadi Bayu bertanya kepada saya apakah mantra boleh digunakan untuk
bermain-main. Maka dari itu saya menjawabnya dengan sedikit berteriak. Mungkin
karena mantra itu terlalu sakral ya, Pak. Jadi, saya menanggapinya sedikit
terbawa arus,” dalihku.
Teman-teman yang lain serta dosen hanya
menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian, proses belajar-mengajar kembali seperti
semula sampai jam menunjukkan pukul 15.30 Wita. Sebelum menutup perkuliahan,
dosen memberikan tugas untuk mencari satu mantra dari suku kami masing-masing.
Karena jam kuliah tidak ada lagi, aku, Bayu,
dan Faisal memutuskan untuk langsung pulang ke indekos. Indekos kami dekat dari
kampus, yakni di Gang Bakti. Di tengah perjalanan, Bayu dan Faisal kembali
mengajakku membahas sesuatu. Kali ini bukan masalah mimpiku, melainkan
menghubungkan antara mantra dengan kata-kata yang biasa aku ucapkan ketika
menghadapi sebuah masalah. “Eh Gas, aku kan nggak
tahu mantra apa yang mau aku jadikan tugas nanti. Gimana kalau aku pakai
mantramu saja, yang jer beo-beo itu. Aku lihat juga manjur
juga, kok,” ujar Bayu.
Padahal hari telah menjelang sore, tapi rasanya
kepalaku masih saja merasa panas. “Heh,
kamu ini Bay. Sudahlah, jangan membahas sesuatu yang absurd. Jer
basuki mawa bea itu bukan
mantra, tapi falsafah Jawa yang menjadi motivasi hidupku. Jadi, tidak ada
kaitannya dengan mantra. Sudahlah, jangan aneh-aneh,” tegasku.
Di sisi lain, ternyata Faisal masih tetap
mendukung Bayu. “Gimana ya, Gas. Bukannya aku mendukung Bayu. Tapi kenyataannya
memang begitu. Buktinya waktu itu kamu bisa menang lomba baca puisi dan bisa
memperbaiki motormu setelah baca mantra itu. Padahal kamu kan sebelumnya tidak
ada bakat membaca puisi apa lagi servis motor. Bongkar motor saja baru itu,”
beber Faisal.
Kali ini kepalaku benar-benar telah mendidih
dan rasanya ingin meledak mendengar gagasan aneh dari kedua sahabatku ini.
“Kalau kami tidak percaya, ayo kita buktikan. Itu di depan ada mobil mogok yang
didorong empat orang bapak-bapak dengan sopirnya yang masih mengemudi mengatur persneling dan kontaknya agar bisa hidup. Gimana
kalau kita bantu,” ujar Bayu.
Kebetulan di depan ada mobil pikap mogok yang
sepertinya membutuhkan bantuan tenaga untuk mendorong mobil tersebut. Akhirnya,
kami pun menawarkan diri untuk membantu. Dan ternyata, ada peningkatan tenaga sehingga
kecepatan dorongan semakin bertambah. Namun hasilnya tetap nihil. Tiba-tiba
Bayu berkata pada bapak-bapak dan sopirnya itu. “Oke, bapak-bapak sekalian.
Sebenarnya tenaga kita sudah cukup. Akan tetapi, hasilnya masih saja nihil.
Jadi, saya menawarkan bahwa kita bersama-sama membaca mantra penambah kekuatan
supaya mobilnya bisa hidup,” kata Bayu.
Benar-benar sudah kerasukan sahabatku ini. Tapi
anehnya bapak-bapak dan sopirnya itu seperti terhipnotis. Mereka mengangguk.
Entah, karena tertarik atau memang sudah pasrah, mereka menurut saja. Apapun
caranya, yang penting mobilnya bisa hidup. Kemudian kami pun kembali mendorong
sembari membaca jer basuki mawa bea berulang-ulang dengan penuh
semangat. Tak disangka, akhirnya mesin mobil itu menyala. Bapak-bapak itu
menyalami kami dan mengucapkan terima kasih atas bantuannya dan meminta kalimat
falsafah Jawa itu untuk mereka catat. Dan bisa digunakan jika sewaktu-waktu
mereka mengalami kendala.
Setelah bapak-bapak itu pergi, Bayu dan Faisal
merangkulku sembari tersenyum-senyum. “Gimana, kamu akhirnya percaya? Kalau
ternyata kata-katamu selama ini itu mantra,” ujar Bayu. Aku masih saja diam.
Namun seketika aku kembali sadar dan menjelaskan kepada mereka bahwa semua itu
tidak benar.
“Gaes,
kalian tahu kenapa kita tadi berhasil? Sebenarnya bukan karena kalimat itu
melainkan keyakinan dan harapan kita yang teguh disertai dengan usaha yang
sungguh-sungguh. Coba saja kalian membaca kalimat yang lain dengan keyakinan,
harapan dan usaha seperti tadi hasilnya pun akan sama. Jer
basuki mawa bea itu
hanya falsafah Jawa yang aku jadikan motivasi hidupku bahwasanya untuk
menggapai keberhasilan diperlukan usaha bukan sekedar kata-kata! Ayolah, kita
berpikir lebih luas lagi!” kataku kepada kedua sahabatku. Kemudian mereka berdua
terdiam dan memandang langit, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
(Kaltim Post, 20 Maret
2017)
Bet365 | Advantages and Disadvantages of Online Casino
BalasHapusOnline Casino kadangpintar Bet365 - a leading Online 메리트 카지노 Casino - welcomes you to Play with $20 FREE - NO หาเงินออนไลน์ DEPOSIT NEEDED! · Use Bonus BONUS: 30%