Mine-Petra Sihombing

Minggu, 06 Agustus 2017

Coba Pikir Dulu!


Oleh: Slayer Andi




Perkara yang paling menyebalkan saat pertemuan adalah ketidaksesuaian kesepakatan waktu. Yah, sebuah keterlambatan. Budaya yang benar-benar harus dilenyapkan dan tidak patut dilestarikan. Aku bingung dengan perkara itu, banyak orang yang membencinya dan mengutuknya tapi banyak pula yang melestarikannya entah secara sadar atau memang sudah menjadi sesuatu yang biasa. Dan yang paling menyebalkan ketika orang yang mengutuknya adalah orang yang melestarikannya pula.

Satu jam sudah aku dibuat bosan oleh ketidakdatangan seorang teman sekelompokku. Ide-ide yang sudah aku susun untuk pembahasan tugas kami, lama-lama memudar oleh mendidihnya emosi di kepalaku. Bagaimana tidak, seseorang yang hanya menggampangkan keputusan tanpa memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Batang hidungnya belum ada muncul sama sekali. Hah! Benar-benar membuatku emosi.

“Mam, coba hubungi si Anto sudah dimana dia sekarang! Gampang betul dia kemarin membuat perjanjian ujung-ujungnya dia sendiri yang melanggar kesepakatan.” Kataku kepada Imam. Dan segera ia merogoh handphone di kantong celananya. Tidak lama obrolan pun berlangsung antara Imam dan Anto yang terdengar suaranya bergemuruh tidak jelas dari handphone. Sedangkan di tangga terlihat Fahri yang memanfaatkan waktu untuk tidur sebentar dan Randy yang sibuk dengan handphonenya. “Tahu gitu aku tidur aja tadi di kos, lumayan dapat satu jam. Ujung-ujungnya juga jam 9 mulainya, bahkan lewat mungkin,” celetuk Fahri yang telah terbangun dan melirik jam yang melingkar ditangannya.

Imam menutup panggilannya kemudian duduk di sebelah Randy dengan wajah cemberut. “Dimana sudah dia Mam?” Tanyaku. “Di Jerman. Hah! asem memang anak itu bisanya baru mau berangkat.” Jawab Imam dengan penuh kekesalan. Mata Fahri melotot setelah Imam mengatakan bahwa Anto baru mau berangkat. Mau diapakan lagi  kalau begini, biar jam di tangan maupun di handphone diatur mundur lagi tetap hasilnya sama sebuah keterlambatan. Lantas, aku duduk di samping ke tiga temanku yang sudah bosan berdiri menunggu seseorang yang tidak sesuai dengan perkataannya.

Sepuluh menit kemudian terlihat seseorang memakai jaket real madrid dan motor Jupiter MX datang. Yah, kami sudah hafal itu pasti si Anto. Setelah memarkir motornya dia berjalan mendekat dengan wajah tak bersalah sembari cengar-cengir.

“Hehehehe, kalian udah lama ya? Sorry aku kesiangan eh, gara-gara nonton pertandingan sepak bola semalam,” ujar Anto sembari menggaruk-garuk kepalanya yang pasti tidak gatal itu. Kami berempat hanya memberikan wajam masam kepadanya. “Hmh, pokoknya besok jam 8 harus sudah kumpul di bawah kantor PKK dekat Taman Cerdas. Hah! Prett…” ketus Fahri yang mengulang perkataan Anto kemarin. Anto yang tadi menunjukkan wajah konyolnya sekarang seperti mulai merasa bersalah. “Iya,iya. Sorry aku semalam lupa, gara-gara ada pertandingan sepak bola sih, makanya aku bangun kesiangan.” Beber Anto.

Kemudian aku berdiri. “Pertandingan sepak bola itu gak bersalah, orang mereka mau main. Apa urusannya sama kamu, alasan aja. Sudah ayo langsung buat lingkaran. Bahasin kamu malah gak selesai-selesai.” Kataku.

Kemudian kami semua duduk di lantai dan membuat lingkaran. Randy menyalakan laptopnya, aku, Fahri dan Imam mengeluarkan buku catatan dan buku teori sedangkan Anto justru menyalakan rokoknya. “Hehehe, tenang coy aku buat antisipasi nyamuk ni,” dalih Anto. “Ya, terserahmu lah!” ujar Randy.

Sejenak suasana jadi hening namun sesekali terdengar suara lembar buku yang dialihkan dari lembar ke lembar dan kepulan asap rokok yang melayang-layang di wilayah lingkaran. Kemudian Imam berdehem untuk memecahkan suasana. “ekhm..khm. Jadi, kira-kira apa ini yang akan kita bahas untuk tugas Dinamika Kebudayaan?” Kata Imam.

Semuanya saling bertukar pandang berharap ada salah satu orang yang mengusulkan. “Saranku kalau bisa kelompok kita bisa menyuguhkan pembahasan yang berbeda dari kelompok lain, yang sekiranya menarik perhatian dan kalau bisa apa yang terjadi disekitar kita. Cobalah untuk membahas sesuatu yang dekat tidak usah muluk-muluk membahas yang lebih jauh,” saranku kepada teman-teman.

Teman-temanku pada mengangguk-anggukkan kepala sebagai simbol persetujuan atas saran yang ku ajukan. Lalu mereka mencoba memikirkan hal itu dengan berbagai gaya yang mereka lakukan ada yang memencet-mencet handphonenya, ada yang memainkan jari telunjuk di  dahinya, ada yang seperti pendekar melipat tangannya di dada dan memejamkan matanya dan ada pula yang tetap dengan gaya awalnya, sibuk menghembas-hembuskan rokoknya bahkan sudah 3 batang rokok yang ia hisap dan dibuangnya disembarang tempat sedangkan aku hanya memperhatikan mereka satu per satu sembari tersenyum.

Tidak lama kemudian  Anto menggertak dan membuang putung rokok terakhirnya sehingga membuat kita semua merasa kaget dibuatnya. “Hyaaaa! Aku tahu, ya aku tahu!” Gertaknya membuat kita semua melayangkan pandangan tajam ke arahnya. “Asem! Tahu ya tahu tapi gak usah pakai gertakan gitu ngomongnya, emang kamu kira jantung kita ada cadangannya?” ketus Fahri yang sepertinya merasa jengkel.

“Hehehe, sorry-sorry. Masalahnya ilhamnya juga datangnya tiba-tiba kaya meteor yang langsung masuk ke kepalaku. Jadi ya spontan aku ngomongnya hehehe,” ujar Anto. Kami semua langsung menggeleng-gelengkan kepala. “Jadi apa idemu awas kalau ngaco,” ancam Randy yang ternyata juga merasa geregetan. “Jadi gini, Seminggu yang lalukan Samarinda dibuat resah dengan terjadinya banjir dimana-mana. Sebagai mahasiswa yang kritis dan berbudaya kita harus peka dengan keadaan itu. Kita buat aja pembahasan tentang budaya kesadaran diri terhadap lingkungan dan kita masukkan aja ke dalam pembahasan kalau kita mengutuk orang-orang yang membuang sampah sembarangan kalau misalnya ketahuan kita usulkan sanksi memungut dengan cara digigit biar lebih jera orang-orang itu. Sepertinya itu sangat menarik dan mungkin bisa jadi nilai plus untuk kita.” Ujar Anto.

Terkadang kami jengkel dengan ulah Anto tapi terkadang kami juga dibuat tertarik dengan ide-idenya. “hmm… aku heran dengan anak ini ternyata otaknya kritis juga kalau masalah cari ide tapi sayang perilakunya tidak sama dengan ide-idenya,” batinku. Di sisi lain Randy mengangkat handphonenya dan sepertinya ia memotret sesuatu. “Budaya kesadaran diri prettt…! Kesadaran datang tepat waktu aja dilupakan, gitu ngusulin budaya kesadaran diri, introspeksi diri dulu baru ngomong malu tahu, itu baru mahasiswa kritis dan berbudaya,” kata Fahri yang sedari tadi kata-katanya selalu menusuk mungkin langsung tepat di jantungnya Anto.

Dan ternyata benar wajah Anto yang semula bersemangat jadi meredup sepertinya dia benar-benar merasa kikuk oleh kata-katanya Fahri. “Sorry deh sorry, aku kan tadi juga udah minta maaf. Tapi mulai sekarang aku bakal membudayakan kesadaran diri deh,” kata Anto yang terlihat bersungguh-sungguh.

“Ekhm… bener ya. Katamu mahasiswa itu harus kritis dan berbudaya jadi kalau misalnya melanggar dengan apa yang dikatakan harus dapat konsekuensinya ya itung-itung sebagai bukti kamu sungguh-sungguh bakal membudayakan kesadaran diri atau enggak,” kataku kepada Anto. “Iya, boleh-boleh. Biar perilakuku bisa sepadan dengan perkataanku,” kata anto lagi.

Sepertinya aku mendapatkan peluang manis untuk menjebaknya. “Oke kalau kamu setuju dan ternyata kamu sadar juga kalau perilakumu tidak sepadan dengan perkataanmu. Dan seperti yang kamu katakan bahwa kamu siap menerima konsekuensinya jika melanggar. Kalau gitu pungutin dulu tu putung-putung rokokmu abis itu baru kita kerjakan tugasnya. Tapi ingat harus digigit hahaha,” kataku.

“Iya, betul tu! Hahaha..” kata Fahri dan Imam yang hampir bersamaan. “Aku juga udah mendokumentasikan bukti-buktinya, kalau kamu menolak jangan salahkan kita kalau masalah ini muncul di grup kelas hayoo! makanya pikir dulu sebelum ngomong hahaha..” Timpal Randy memperkuat tuduhanku.

“Ya, ya,ya… Tapi bukan gitu juga. Aduh! Gimana ya, sial kenapa aku tadi buang sampah sembarangan. Hah! Yaudah deh,” keluh Anto dan kemudian dia tertunduk sembari mengacak-acak rambutnya dan kami berempat tertawa terbahak-bahak.

                                                                                     (Samarinda Post, 29 April 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar