Mine-Petra Sihombing

Selasa, 18 April 2017

Sang Perantau, Pendiri Kota Samarinda

TUGAS MATA KULIAH
TRADISI SASTRA NUSANTARA

Sebuah ulasan tentang deskripsi perjalanan, penjelasan definisi Legenda, Profil La Mohang Daeng Mangkona dan Kesimpulan




SANG PERANTAU, PENDIRI KOTA SAMARINDA



Oleh:
Muhammad Andi Fitrahman
1614015048
Sastra Indonesia B












1. Deskripsi perjalanan

Di dalam proses perkuliahan terdapat dua macam pembelajaran, yaitu: studi ruang dan studi lapangan yang bertujuan agar mahasiswa setelah menerima materi dapat langsung menerapkan dan terjun ke lapangan untuk mengaplikasikan ilmu yang diterima. Begitu halnya dengan apa yang saya alami. Setelah menerima materi tentang Legenda dalam mata kuliah Tradisi Sastra Nusantara. Kami mahasiswa sastra indonesia sebagai penerus pelestari sastra dan budaya dianjurkan untuk berziarah dan mencari tahu lebih jauh tentang seorang tokoh pendiri kota Samarinda yang legendanya belum terungkap lebih jelas dan bahkan masyarakat belum banyak yang mengetahui.

Pada tanggal 8 April 2017, kami mahasiswa sastra Indonesia angkatan 2016 kelas A dan B berkumpul di kampus Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman. Sesuai kesepakatan bersama bahwa pada hari dan tanggal tersebut kami akan berziarah ke makam La Mohang Daeng Mangkona sekaligus mencari tahu lebih jauh tentang beliau dan sejarah berdirinya kota Samarinda.

Sebelum berangkat kami berdoa terlebih dahulu agar diberi keselamatan dalam perjalanan yang dipimpin langsung oleh dosen mata kuliah Tradisi Sastra Nusantara dan setelah itu kami pun berangkat. Lokasi pemakaman terletak di Samarinda seberang(samarinda lama) yang berada di Jalan Abd. Rasyid, Kampung Wisata Tenun Samarinda. Ketika masuk di wilayah Kampung Wisata Tenun Samarinda, kami dibuat kagum oleh kekokohan masjid tua di Samarinda, Masjid Shiratal Mustaqiem yang memang masyarakat setempat benar-benar menjaga dan merawatnya.

Sesampainya di lokasi pemakaman kami disambut baik oleh penjaga makam sekaligus juru kuncinya yang bernama bapak Abdillah. Kami dipersilahkan masuk ke dalam pendopo yang memang makam La mohang daeng mangkona telah dipugar dan dibangun pendopo pada tahun 1994 sebagai bentuk kepedulian oleh walikota saat itu.



Setelah masing-masing dari kami memberikan doa kepada almarhum La Mohang Daeng Mangkona. Kami dipersilahkan mengajukan pertanyaan kepada juru kuncinya. Beliau menjawab dan menjelaskan semua pertanyaan dengan bahasa yang bersahabat dan terkadang membuat humor sehingga kami tidak merasa jenuh ataupun merasa takut karena berada di area pemakaman.



Setelah kami rasa cukup mengajukan pertanyaan maka kami memohon diri ke belakang pendopo untuk melihat beberapa makam pengikut La Mohang Daeng Mangkona yang di makamkan di sekitar pemakaman tersebut.



Semua pertanyaan telah diajukan, mengelilingi area pemakaman sekaligus mengambil beberapa gambar telah dilakukan dan suara azan zuhur pun telah berkumandang di Masjid-masjid sekitar. Maka hal itu menunjukkan bahwa waktu kami untuk berziarah telah usai. Dosen kami selaku ketua rombongan mengucapkan terima kasih atas waktu yang telah diluangkan juru kunci kepada kami dan berpamitan pulang yang diikuti para  mahasiswa.

2. Legenda

a.     Pengertian Legenda

Istilah Legenda mungkin tidak asing lagi di telinga kita apalagi istilah tersebut pernah digunakan sebagai judul film di stasiun-stasiun televisi swasta ataupun judul buku bacaan. Legenda menurut KBBI adalah cerita rakyat berkaitan dengan sejarah (Supeno, 2015:284). Bisa juga dikatakan sebagai cerita prosa rakyat yang dianggap oleh empunya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi (Danandjaja, 2007:66). Jadi, bisa disimpulkan bahwa Legenda itu merupakan cerita dari rakyat atau masyarakat lokal yang benar-benar terjadi dan kebenarannya dapat dirujuk.

Legenda merupakan bagian dari cerita prosa rakyat bersama dengan mitos, dongeng dan lain-lain yang masuk ke dalam pembahasan ilmu Folklor. Legenda bersifat sekuler yang membahas tentang keduniawian, yang terjadinya dalam masa yang belum terlalu lama dan bertempat di dunia seperti dunia yang kita tempati ini bukan seperti mitos yang sebagian bertempat di kahyangan ataupun yang lainnya. Legenda juga bersifat migratoris yakni, dapat berpindah-pindah, sehingga dikenal luas ke daerah-daerah lainnya.

Menurut Alan Dundes seorang ilmuwan folklor tentang legenda (Danandjaja, 2007:67):
a)      Kemungkinan besar bahwa jumlah legenda disetiap kebudayaan jauh lebih banyak daripada mitos dan dongeng.
b)      Mempunyai jumlah tipe dasar yang tidak terbatas.
c)      Setiap zaman akan menyumbangkan legenda-legenda baru.

Jan Harold Brunvand menggolongkan legenda menjadi 4 macam (Danandjaj, 2007:67), yaitu:

a)      Legenda keagamaan (religious legends)
b)      Legenda alam gaib (supernatural legends)
c)      Legenda perseorangan (personal legends)
d)     Legenda setempat (local legends)

Contoh legenda:
a)      Legenda Wali Sanga (legenda keagamaan)
b)      Legenda Genderuwo (legenda alam gaib)
c)      Legenda Si Pitung (legenda perseorangan)
d)     Legenda kota Surabaya (legenda setempat)

Bagaimanapun baik legenda maupun mitos tetap termasuk dalam bagian kesusastraan dan merupakan bagian kekayaan budaya dari suatu bangsa yang patut dijaga kemurnian dan keberadaannya. Apalagi bangsa Indonesia ini terkenal dengan keragaman sukunya yang masing-masing suku memiliki subsukunya dan memiliki kebudayaan masing-masing. Ini  adalah tugas kita sebagai generasi penerus bangsa untuk menjaganya. Tumbuhkan rasa cinta terhadap kesusastraan, berikan pandangan kesusastraan sebagai sesuatu yang penting salah satunya sebagai, fakta kemanusiaan sebagaimana pandangan Lucien Goldmann (Susanto, 2016:120). Lucien Goldmann merupakan filsuf yang memperkenalkan teori strukturalisme genetis, sebuah teori yang paling sering digunakan untuk merujuk kebenaran suatu legenda maupun sebagai teori penelitian permasalahan lain. Dan juga jadikan kesuastraan sebagai sarana dokumen sosial dan sebagai potret kenyataan sosial (Budianta, 1995:122)

3. Profil La Mohang Daeng Mangkona

          La Mohang Daeng Mangkona merupakan seorang tokoh terkenal di Sulawesi Selatan  kala itu. Beliau merupakan salah satu orang penting di kerajaan wajo. Ketika Kolonial Belanda datang dan menaklukkan Sulawesi Selatan. Banyak kerajaan dan masyarakat setempat tidak terima, apalagi harus menerima perjanjian Bungaya. Namun karena kerajaan Gowa merupakan kerajaan tertinggi di Sulawesi Selatan maka diterimalah perjanjian tersebut yang di tanda tangani oleh Sultan Hasanuddin. Lain orang lain juga keinginan, daripada harus tunduk kepada kolonial Belanda maka La Mohang Daeng Mangkona bersama rombongannya pergi meninggalkan tanah kelahirannya dan pada akhirnya singgah di pulau Borneo(Kalimantan).

            Selain bersama rombongannya yang kurang lebih 200 orang, La Mohang Daeng Mangkona juga pergi bersama bangsawan Wajo yang lain seperti La Ma’dukelleng pendiri daerah  Tanah Gerogot yang sekarang menjadi ibukota kabupaten Paser. Pada awalnya mereka tinggal di wilayah kerajaan Paser. Namun, setelah daerah pemukiman semakin penuh ditambah lagi para migrasi yang datang. Maka La Ma’dukelleng mengadakan perundingan dengan pengikut dan bangsawan yang lain. Dan diputuskan bahwa sebagian pindah ke wilayah kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura yang dipimpin La Mohang Daeng Mangkona. Sekitar tahun 1668, La Mohang Daeng Mangkona bersama rombongannya datang ke kerajaan Kutai meminta izin kepada Pangeran Dipati Modjo Kusumo selaku penguasa kerajaan Kutai kala itu untuk tinggal dan menetap diwilayahnya, maka diberikanlah tempat yang bernama Tanah Rendah sebagai tempat bermukim dan diberi hak untuk mengelola daerah tersebut dengan syarat tidak boleh mendirikan kerajaan dan tetap berada dibawah kekuasaan kerajaan Kutai Kartanegara  Ing Martadipura dan menjaga daerah tersebut dari penjajah yang datang.

            La Mohang Daeng Mangkona pun memulai membuka lahan tersebut dibantu oleh para pengikutnya. Setalah lahan terbuka dibangunlah rumah-rumah yang tingginya sama sebagai lambang bahwa drajat semua sama, di tepi sungai Mahakam membujur dari hilir ke hulu. Sebagai penganut agama islam yang setia dan fanatik, maka kebudayaan agama islam cepat berkembang seiring pertumbuhan ekonomi. Tak ayal, jika banyak masyarakat pendatang merasa nyaman dan betah tinggal di daerah tersebut karena letak geografis dan iklim yang bagus serta tanahnya yang subur memang sangat menarik hati. La Mohang Daeng Mangkona dan beberapa para pengikutnya meninggal dan dimakamkan di daerah tersebut yang bila kita rujuk sekarang berada di Kampung Wisata Tenun Samarinda, jalan Abd. Rasyid. Seiring berjalannya waktu daerah tersebut semakin ramai. Dan daerah tersebut dikenal dengan nama “SAMA RENDAH” yang kemudian hari menjadi “SAMARINDA” karena memang lokasinya yang sama-sama rendah serta penduduknya yang menerima kesetaraan derajat  dan setiapa tanggal 21 Januari diperingati sebagai hari jadi kota Samarinda, diambil dari tanggal tibanya La Mohang Daeng Mangkona di Tanah Rendah.

            Demikianlah sejarah kota Samarinda yang sekarang menjadi  ibukota provinsi Kalimantan Timur. Seorang perantau dari tanah seberang bersama para pengikutnya yang rela meninggalkan tanah kelahirannya daripada tunduk dibawah kekuasaan penjajah dengan berpegang teguh sebuah prinsip suku bugis, filsafat 3 ujung yaitu, ujung lidah, ujung badik dan ujung zakar. Tetap dianut dan dipegang teguh secara turun-temurun. Dengan prinsip tersebut mereka merantau dan menetap di tanah perantauan dan akhirnya mendapatkan balasan yang setimpal yakni mendapatkan daerah yang lebih baik dan menjadi seorang tokoh terkenal, sang perantau pendiri kota di tanah seberang.

4. Kesimpulan dari seorang tokoh La Mohang Daeng Mangkona

Memang benar kehidupan merupakan sebuah misteri yang sangat besar, tidak ada satupun manusia yang bakal mengetahui dimana ia akan dilahirkan, bagaimana kehidupannya dan dimana ia akan mati. Sebagaimana yang dialami La Mohang Daeng Mangkona ia tidak akan tahu bahwa takdir kehidupan dan akhir kehidupannya bukan di tanah kelahirannya melainkan di tanah seberang yang jauh dari mata memandang. Namun, sebagai seorang manusia kita hanya bisa menjalani dan siap menghadapi, berani menentang terhadap suatu  kesalahan walaupun itu menakutkan dan berani mengambil keputusan walaupun harus menghadapi kepahitan. Tapi, ingatlah sebagai seorang yang beragama semua permasalahan seperti itu hanya sebuah ujian  dan setiap ujian  jika kita menghadapi dengan hati yang ikhlas dan jiwa yang tegar akan berakhir dengan kebahagiaan.

Dan ingatlah pula ketika kita menanam kebaikan dimana saja pasti kita akan memetik kebaikan itu dimana pun kita berada. Jagalah kepercayaan yang  telah diberikan oleh orang lain dan tunjukkan sikap tanggung jawab, hal itu akan memberikan efek keikhlasan dari hati sang pemberi kepercayaan. Dan juga jagalah lisan dan perilaku dimana pun kita berada agar mudah diterima oleh orang lain.

Berikut merupakan nilai-nilai positif dari perjalanan hidup seorang La Mohang Daeng Mangkona, seorang yang tawakal, tegar, qanaah, bertanggung jawab dan dapat menempatkan diri dimana saja.

 La Mohang Daeng Mangkona sempat tidak dikenal oleh sebagian masyarakat setempat dan setelah ditemukan oleh Muhammad Toha ketika membuka lahan. Keberadaannya mulai dikenal kembali dan menjadi Cagar Budaya Nasional setelah beliau melaporkan ke pegawai Museum Tenggarong kemudian dilaporkan ke pemerintah pusat. Beliau menjadi juru kunci makam yang pertama dan kemudian digantikan oleh anak sulungnya Suriansyah dan sekarang digantikan oleh anak bungsunya Abdillah.

Sebagai seorang calon pelestari sastra dan budaya harapan saya terhadap keberadaan makam La Mohang Daeng Mangkona adalah agar makam tersebut lebih diperdulikan oleh pemerintah kota Samarinda tidak hanya berziarah jika ada maksudnya saja dan harapannya juga dapat dimasukkan kedalam materi pembelajaran sejarah khususnya siswa dan mahasiswa yang berada di Samarinda, supaya keberadaannya lebih dikenal oleh masyarakat setempat dan seluruh warga Indonesia.



Sumber Referensi:

Budianta, Melani. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Danandjaja, James. 2007. Folklor Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti
Maula, Amiruddin. 1994.  Cerita rakyat dari Kalimantan Timur. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia

Drs. Supeno, Ahmad. 2015.  Kamus Praktis Bahasa Indonesia Edisi Terbaru. Yoyakarta: Pyramid Yogyakarta

Susanto, Dwi, S.S., M.Hum. 2016. Pengantar Kajian Sastra. Jakarta: PT. Buku Seru

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar