TUGAS MATA KULIAH
TRADISI SASTRA NUSANTARA
“Sebuah
ulasan tentang deskripsi perjalanan, penjelasan definisi Legenda, Profil La
Mohang Daeng Mangkona dan Kesimpulan”
SANG PERANTAU, PENDIRI KOTA
SAMARINDA
Oleh:
Muhammad Andi Fitrahman
1614015048
Sastra Indonesia B
1. Deskripsi
perjalanan
Di
dalam proses perkuliahan terdapat dua macam pembelajaran, yaitu: studi ruang
dan studi lapangan yang bertujuan agar mahasiswa setelah menerima materi dapat
langsung menerapkan dan terjun ke lapangan untuk mengaplikasikan ilmu yang
diterima. Begitu halnya dengan apa yang saya alami. Setelah menerima materi
tentang Legenda dalam mata kuliah Tradisi Sastra Nusantara. Kami mahasiswa
sastra indonesia sebagai penerus pelestari sastra dan budaya dianjurkan untuk
berziarah dan mencari tahu lebih jauh tentang seorang tokoh pendiri kota
Samarinda yang legendanya belum terungkap lebih jelas dan bahkan masyarakat
belum banyak yang mengetahui.
Pada
tanggal 8 April 2017, kami mahasiswa sastra Indonesia angkatan 2016 kelas A dan
B berkumpul di kampus Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman. Sesuai
kesepakatan bersama bahwa pada hari dan tanggal tersebut kami akan berziarah ke
makam La Mohang Daeng Mangkona sekaligus mencari tahu lebih jauh tentang beliau
dan sejarah berdirinya kota Samarinda.
Sebelum
berangkat kami berdoa terlebih dahulu agar diberi keselamatan dalam perjalanan
yang dipimpin langsung oleh dosen mata kuliah Tradisi Sastra Nusantara dan
setelah itu kami pun berangkat. Lokasi pemakaman terletak di Samarinda
seberang(samarinda lama) yang berada di Jalan Abd. Rasyid, Kampung Wisata Tenun
Samarinda. Ketika masuk di wilayah Kampung Wisata Tenun Samarinda, kami dibuat kagum
oleh kekokohan masjid tua di Samarinda, Masjid Shiratal Mustaqiem yang memang
masyarakat setempat benar-benar menjaga dan merawatnya.
Sesampainya
di lokasi pemakaman kami disambut baik oleh penjaga makam sekaligus juru
kuncinya yang bernama bapak Abdillah. Kami dipersilahkan masuk ke dalam pendopo
yang memang makam La mohang daeng mangkona telah dipugar dan dibangun pendopo
pada tahun 1994 sebagai bentuk kepedulian oleh walikota saat itu.
Setelah
masing-masing dari kami memberikan doa kepada almarhum La Mohang Daeng
Mangkona. Kami dipersilahkan mengajukan pertanyaan kepada juru kuncinya. Beliau
menjawab dan menjelaskan semua pertanyaan dengan bahasa yang bersahabat dan
terkadang membuat humor sehingga kami tidak merasa jenuh ataupun merasa takut
karena berada di area pemakaman.
Setelah
kami rasa cukup mengajukan pertanyaan maka kami memohon diri ke belakang
pendopo untuk melihat beberapa makam pengikut La Mohang Daeng Mangkona yang di
makamkan di sekitar pemakaman tersebut.
Semua
pertanyaan telah diajukan, mengelilingi area pemakaman sekaligus mengambil
beberapa gambar telah dilakukan dan suara azan zuhur pun telah berkumandang di
Masjid-masjid sekitar. Maka hal itu menunjukkan bahwa waktu kami untuk
berziarah telah usai. Dosen kami selaku ketua rombongan mengucapkan terima
kasih atas waktu yang telah diluangkan juru kunci kepada kami dan berpamitan
pulang yang diikuti para mahasiswa.
2. Legenda
a.
Pengertian Legenda
Istilah
Legenda mungkin tidak asing lagi di telinga kita apalagi istilah tersebut
pernah digunakan sebagai judul film di stasiun-stasiun televisi swasta ataupun
judul buku bacaan. Legenda menurut KBBI adalah cerita rakyat berkaitan dengan
sejarah (Supeno, 2015:284). Bisa juga dikatakan sebagai cerita prosa rakyat
yang dianggap oleh empunya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh
pernah terjadi (Danandjaja, 2007:66). Jadi, bisa disimpulkan bahwa Legenda itu
merupakan cerita dari rakyat atau masyarakat lokal yang benar-benar terjadi dan
kebenarannya dapat dirujuk.
Legenda
merupakan bagian dari cerita prosa rakyat bersama dengan mitos, dongeng dan
lain-lain yang masuk ke dalam pembahasan ilmu Folklor. Legenda bersifat sekuler
yang membahas tentang keduniawian, yang terjadinya dalam masa yang belum
terlalu lama dan bertempat di dunia seperti dunia yang kita tempati ini bukan
seperti mitos yang sebagian bertempat di kahyangan ataupun yang lainnya.
Legenda juga bersifat migratoris yakni, dapat berpindah-pindah, sehingga
dikenal luas ke daerah-daerah lainnya.
Menurut
Alan Dundes seorang ilmuwan folklor tentang legenda (Danandjaja, 2007:67):
a) Kemungkinan
besar bahwa jumlah legenda disetiap kebudayaan jauh lebih banyak daripada mitos
dan dongeng.
b) Mempunyai
jumlah tipe dasar yang tidak terbatas.
c) Setiap
zaman akan menyumbangkan legenda-legenda baru.
Jan
Harold Brunvand menggolongkan legenda menjadi 4 macam (Danandjaj, 2007:67),
yaitu:
a) Legenda
keagamaan (religious legends)
b) Legenda
alam gaib (supernatural legends)
c) Legenda
perseorangan (personal legends)
d) Legenda
setempat (local legends)
Contoh
legenda:
a) Legenda
Wali Sanga (legenda keagamaan)
b) Legenda
Genderuwo (legenda alam gaib)
c) Legenda
Si Pitung (legenda perseorangan)
d) Legenda
kota Surabaya (legenda setempat)
Bagaimanapun baik legenda maupun mitos
tetap termasuk dalam bagian kesusastraan dan merupakan bagian kekayaan budaya
dari suatu bangsa yang patut dijaga kemurnian dan keberadaannya. Apalagi bangsa
Indonesia ini terkenal dengan keragaman sukunya yang masing-masing suku
memiliki subsukunya dan memiliki kebudayaan masing-masing. Ini adalah tugas kita sebagai generasi penerus
bangsa untuk menjaganya. Tumbuhkan rasa cinta terhadap kesusastraan, berikan
pandangan kesusastraan sebagai sesuatu yang penting salah satunya sebagai,
fakta kemanusiaan sebagaimana pandangan Lucien Goldmann (Susanto, 2016:120).
Lucien Goldmann merupakan filsuf yang memperkenalkan teori strukturalisme
genetis, sebuah teori yang paling sering digunakan untuk merujuk kebenaran
suatu legenda maupun sebagai teori penelitian permasalahan lain. Dan juga jadikan
kesuastraan sebagai sarana dokumen sosial dan sebagai potret kenyataan sosial (Budianta,
1995:122)
3. Profil La
Mohang Daeng Mangkona
La
Mohang Daeng Mangkona merupakan seorang tokoh terkenal di Sulawesi Selatan kala itu. Beliau merupakan salah satu orang
penting di kerajaan wajo. Ketika Kolonial Belanda datang dan menaklukkan
Sulawesi Selatan. Banyak kerajaan dan masyarakat setempat tidak terima, apalagi
harus menerima perjanjian Bungaya. Namun karena kerajaan Gowa merupakan
kerajaan tertinggi di Sulawesi Selatan maka diterimalah perjanjian tersebut
yang di tanda tangani oleh Sultan Hasanuddin. Lain orang lain juga keinginan, daripada
harus tunduk kepada kolonial Belanda maka La Mohang Daeng Mangkona bersama
rombongannya pergi meninggalkan tanah kelahirannya dan pada akhirnya singgah di
pulau Borneo(Kalimantan).
Selain bersama rombongannya yang
kurang lebih 200 orang, La Mohang Daeng Mangkona juga pergi bersama bangsawan
Wajo yang lain seperti La Ma’dukelleng pendiri daerah Tanah Gerogot yang sekarang menjadi ibukota
kabupaten Paser. Pada awalnya mereka tinggal di wilayah kerajaan Paser. Namun,
setelah daerah pemukiman semakin penuh ditambah lagi para migrasi yang datang.
Maka La Ma’dukelleng mengadakan perundingan dengan pengikut dan bangsawan yang
lain. Dan diputuskan bahwa sebagian pindah ke wilayah kerajaan Kutai
Kartanegara Ing Martadipura yang dipimpin La Mohang Daeng Mangkona. Sekitar
tahun 1668, La Mohang Daeng Mangkona bersama rombongannya datang ke kerajaan
Kutai meminta izin kepada Pangeran Dipati Modjo Kusumo selaku penguasa kerajaan
Kutai kala itu untuk tinggal dan menetap diwilayahnya, maka diberikanlah tempat
yang bernama Tanah Rendah sebagai tempat bermukim dan diberi hak untuk
mengelola daerah tersebut dengan syarat tidak boleh mendirikan kerajaan dan
tetap berada dibawah kekuasaan kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura dan menjaga daerah tersebut
dari penjajah yang datang.
La Mohang Daeng Mangkona pun memulai
membuka lahan tersebut dibantu oleh para pengikutnya. Setalah lahan terbuka
dibangunlah rumah-rumah yang tingginya sama sebagai lambang bahwa drajat semua
sama, di tepi sungai Mahakam membujur dari hilir ke hulu. Sebagai penganut
agama islam yang setia dan fanatik, maka kebudayaan agama islam cepat berkembang
seiring pertumbuhan ekonomi. Tak ayal, jika banyak masyarakat pendatang merasa
nyaman dan betah tinggal di daerah tersebut karena letak geografis dan iklim yang
bagus serta tanahnya yang subur memang sangat menarik hati. La Mohang Daeng
Mangkona dan beberapa para pengikutnya meninggal dan dimakamkan di daerah
tersebut yang bila kita rujuk sekarang berada di Kampung Wisata Tenun
Samarinda, jalan Abd. Rasyid. Seiring berjalannya waktu daerah tersebut semakin
ramai. Dan daerah tersebut dikenal dengan nama “SAMA RENDAH” yang kemudian hari
menjadi “SAMARINDA” karena memang lokasinya yang sama-sama rendah serta
penduduknya yang menerima kesetaraan derajat
dan setiapa tanggal 21 Januari diperingati sebagai hari jadi kota
Samarinda, diambil dari tanggal tibanya La Mohang Daeng Mangkona di Tanah
Rendah.
Demikianlah sejarah kota Samarinda yang sekarang menjadi ibukota provinsi Kalimantan Timur. Seorang
perantau dari tanah seberang bersama para pengikutnya yang rela meninggalkan
tanah kelahirannya daripada tunduk dibawah kekuasaan penjajah dengan berpegang
teguh sebuah prinsip suku bugis, filsafat 3 ujung yaitu, ujung lidah, ujung
badik dan ujung zakar. Tetap dianut dan dipegang teguh secara turun-temurun.
Dengan prinsip tersebut mereka merantau dan menetap di tanah perantauan dan
akhirnya mendapatkan balasan yang setimpal yakni mendapatkan daerah yang lebih
baik dan menjadi seorang tokoh terkenal, sang perantau pendiri kota di tanah
seberang.
4. Kesimpulan
dari seorang tokoh La Mohang Daeng Mangkona
Memang
benar kehidupan merupakan sebuah misteri yang sangat besar, tidak ada satupun manusia
yang bakal mengetahui dimana ia akan dilahirkan, bagaimana kehidupannya dan
dimana ia akan mati. Sebagaimana yang dialami La Mohang Daeng Mangkona ia tidak
akan tahu bahwa takdir kehidupan dan akhir kehidupannya bukan di tanah
kelahirannya melainkan di tanah seberang yang jauh dari mata memandang. Namun,
sebagai seorang manusia kita hanya bisa menjalani dan siap menghadapi, berani
menentang terhadap suatu kesalahan
walaupun itu menakutkan dan berani mengambil keputusan walaupun harus
menghadapi kepahitan. Tapi, ingatlah sebagai seorang yang beragama semua
permasalahan seperti itu hanya sebuah ujian
dan setiap ujian jika kita
menghadapi dengan hati yang ikhlas dan jiwa yang tegar akan berakhir dengan
kebahagiaan.
Dan
ingatlah pula ketika kita menanam kebaikan dimana saja pasti kita akan memetik
kebaikan itu dimana pun kita berada. Jagalah kepercayaan yang telah diberikan oleh orang lain dan tunjukkan
sikap tanggung jawab, hal itu akan memberikan efek keikhlasan dari hati sang
pemberi kepercayaan. Dan juga jagalah lisan dan perilaku dimana pun kita berada
agar mudah diterima oleh orang lain.
Berikut
merupakan nilai-nilai positif dari perjalanan hidup seorang La Mohang Daeng
Mangkona, seorang yang tawakal, tegar, qanaah, bertanggung jawab dan dapat
menempatkan diri dimana saja.
La Mohang Daeng Mangkona sempat tidak dikenal
oleh sebagian masyarakat setempat dan setelah ditemukan oleh Muhammad Toha
ketika membuka lahan. Keberadaannya mulai dikenal kembali dan menjadi Cagar Budaya
Nasional setelah beliau melaporkan ke pegawai Museum Tenggarong kemudian
dilaporkan ke pemerintah pusat. Beliau menjadi juru kunci makam yang pertama
dan kemudian digantikan oleh anak sulungnya Suriansyah dan sekarang digantikan
oleh anak bungsunya Abdillah.
Sebagai
seorang calon pelestari sastra dan budaya harapan saya terhadap keberadaan
makam La Mohang Daeng Mangkona adalah agar makam tersebut lebih diperdulikan
oleh pemerintah kota Samarinda tidak hanya berziarah jika ada maksudnya saja
dan harapannya juga dapat dimasukkan kedalam materi pembelajaran sejarah
khususnya siswa dan mahasiswa yang berada di Samarinda, supaya keberadaannya
lebih dikenal oleh masyarakat setempat dan seluruh warga Indonesia.
Sumber
Referensi:
Budianta, Melani. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Danandjaja, James. 2007. Folklor Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti
Maula, Amiruddin. 1994. Cerita
rakyat dari Kalimantan Timur. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia
Drs.
Supeno, Ahmad. 2015. Kamus Praktis Bahasa Indonesia Edisi
Terbaru. Yoyakarta: Pyramid Yogyakarta
Susanto, Dwi, S.S., M.Hum. 2016. Pengantar Kajian Sastra. Jakarta: PT.
Buku Seru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar