Oleh: Slayer Andi
Perkara yang paling menyebalkan saat pertemuan
adalah ketidaksesuaian kesepakatan waktu. Yah, sebuah keterlambatan. Budaya
yang benar-benar harus dilenyapkan dan tidak patut dilestarikan. Aku bingung
dengan perkara itu, banyak orang yang membencinya dan mengutuknya tapi banyak
pula yang melestarikannya entah secara sadar atau memang sudah menjadi sesuatu
yang biasa. Dan yang paling menyebalkan ketika orang yang mengutuknya adalah
orang yang melestarikannya pula.
Satu jam sudah aku dibuat bosan oleh ketidakdatangan
seorang teman sekelompokku. Ide-ide yang sudah aku susun untuk pembahasan tugas
kami, lama-lama memudar oleh mendidihnya emosi di kepalaku. Bagaimana tidak,
seseorang yang hanya menggampangkan keputusan tanpa memikirkan
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Batang hidungnya belum ada muncul
sama sekali. Hah! Benar-benar membuatku emosi.
“Mam, coba hubungi si Anto sudah dimana dia
sekarang! Gampang betul dia kemarin membuat perjanjian ujung-ujungnya dia sendiri
yang melanggar kesepakatan.” Kataku kepada Imam. Dan segera ia merogoh
handphone di kantong celananya. Tidak lama obrolan pun berlangsung antara Imam
dan Anto yang terdengar suaranya bergemuruh tidak jelas dari handphone.
Sedangkan di tangga terlihat Fahri yang memanfaatkan waktu untuk tidur sebentar
dan Randy yang sibuk dengan handphonenya. “Tahu gitu aku tidur aja tadi di kos,
lumayan dapat satu jam. Ujung-ujungnya juga jam 9 mulainya, bahkan lewat
mungkin,” celetuk Fahri yang telah terbangun dan melirik jam yang melingkar
ditangannya.
Imam menutup panggilannya kemudian duduk di sebelah
Randy dengan wajah cemberut. “Dimana sudah dia Mam?” Tanyaku. “Di Jerman. Hah!
asem memang anak itu bisanya baru mau berangkat.” Jawab Imam dengan penuh
kekesalan. Mata Fahri melotot setelah Imam mengatakan bahwa Anto baru mau berangkat.
Mau diapakan lagi kalau begini, biar jam
di tangan maupun di handphone diatur mundur lagi tetap hasilnya sama sebuah
keterlambatan. Lantas, aku duduk di samping ke tiga temanku yang sudah bosan
berdiri menunggu seseorang yang tidak sesuai dengan perkataannya.
Sepuluh menit kemudian terlihat seseorang memakai
jaket real madrid dan motor Jupiter MX datang. Yah, kami sudah hafal itu pasti
si Anto. Setelah memarkir motornya dia berjalan mendekat dengan wajah tak
bersalah sembari cengar-cengir.
“Hehehehe, kalian udah lama ya? Sorry aku kesiangan eh, gara-gara nonton pertandingan sepak bola
semalam,” ujar Anto sembari menggaruk-garuk kepalanya yang pasti tidak gatal
itu. Kami berempat hanya memberikan wajam masam kepadanya. “Hmh, pokoknya besok
jam 8 harus sudah kumpul di bawah kantor PKK dekat Taman Cerdas. Hah! Prett…” ketus
Fahri yang mengulang perkataan Anto kemarin. Anto yang tadi menunjukkan wajah
konyolnya sekarang seperti mulai merasa bersalah. “Iya,iya. Sorry aku semalam lupa, gara-gara ada
pertandingan sepak bola sih, makanya aku bangun kesiangan.” Beber Anto.
Kemudian aku berdiri. “Pertandingan sepak bola itu
gak bersalah, orang mereka mau main. Apa urusannya sama kamu, alasan aja. Sudah
ayo langsung buat lingkaran. Bahasin kamu malah gak selesai-selesai.” Kataku.
Kemudian kami semua duduk di lantai dan membuat
lingkaran. Randy menyalakan laptopnya, aku, Fahri dan Imam mengeluarkan buku
catatan dan buku teori sedangkan Anto justru menyalakan rokoknya. “Hehehe,
tenang coy aku buat antisipasi nyamuk ni,” dalih Anto. “Ya, terserahmu lah!”
ujar Randy.
Sejenak suasana jadi hening namun sesekali terdengar
suara lembar buku yang dialihkan dari lembar ke lembar dan kepulan asap rokok
yang melayang-layang di wilayah lingkaran. Kemudian Imam berdehem untuk
memecahkan suasana. “ekhm..khm. Jadi, kira-kira apa ini yang akan kita bahas
untuk tugas Dinamika Kebudayaan?” Kata Imam.
Semuanya saling bertukar pandang berharap ada salah
satu orang yang mengusulkan. “Saranku kalau bisa kelompok kita bisa menyuguhkan
pembahasan yang berbeda dari kelompok lain, yang sekiranya menarik perhatian
dan kalau bisa apa yang terjadi disekitar kita. Cobalah untuk membahas sesuatu
yang dekat tidak usah muluk-muluk membahas yang lebih jauh,” saranku kepada
teman-teman.
Teman-temanku pada mengangguk-anggukkan kepala
sebagai simbol persetujuan atas saran yang ku ajukan. Lalu mereka mencoba
memikirkan hal itu dengan berbagai gaya yang mereka lakukan ada yang memencet-mencet
handphonenya, ada yang memainkan jari telunjuk di dahinya, ada yang seperti pendekar melipat
tangannya di dada dan memejamkan matanya dan ada pula yang tetap dengan gaya
awalnya, sibuk menghembas-hembuskan rokoknya bahkan sudah 3 batang rokok yang
ia hisap dan dibuangnya disembarang tempat sedangkan aku hanya memperhatikan
mereka satu per satu sembari tersenyum.
Tidak lama kemudian
Anto menggertak dan membuang putung rokok terakhirnya sehingga membuat
kita semua merasa kaget dibuatnya. “Hyaaaa! Aku tahu, ya aku tahu!” Gertaknya
membuat kita semua melayangkan pandangan tajam ke arahnya. “Asem! Tahu ya tahu
tapi gak usah pakai gertakan gitu ngomongnya, emang kamu kira jantung kita ada
cadangannya?” ketus Fahri yang sepertinya merasa jengkel.
“Hehehe, sorry-sorry.
Masalahnya ilhamnya juga datangnya tiba-tiba kaya meteor yang langsung masuk ke
kepalaku. Jadi ya spontan aku ngomongnya hehehe,” ujar Anto. Kami semua
langsung menggeleng-gelengkan kepala. “Jadi apa idemu awas kalau ngaco,” ancam
Randy yang ternyata juga merasa geregetan. “Jadi gini, Seminggu yang lalukan
Samarinda dibuat resah dengan terjadinya banjir dimana-mana. Sebagai mahasiswa
yang kritis dan berbudaya kita harus peka dengan keadaan itu. Kita buat aja
pembahasan tentang budaya kesadaran diri terhadap lingkungan dan kita masukkan
aja ke dalam pembahasan kalau kita mengutuk orang-orang yang membuang sampah
sembarangan kalau misalnya ketahuan kita usulkan sanksi memungut dengan cara
digigit biar lebih jera orang-orang itu. Sepertinya itu sangat menarik dan
mungkin bisa jadi nilai plus untuk kita.” Ujar Anto.
Terkadang kami jengkel dengan ulah Anto tapi
terkadang kami juga dibuat tertarik dengan ide-idenya. “hmm… aku heran dengan
anak ini ternyata otaknya kritis juga kalau masalah cari ide tapi sayang
perilakunya tidak sama dengan ide-idenya,” batinku. Di sisi lain Randy
mengangkat handphonenya dan sepertinya ia memotret sesuatu. “Budaya kesadaran
diri prettt…! Kesadaran datang tepat waktu aja dilupakan, gitu ngusulin budaya
kesadaran diri, introspeksi diri dulu baru ngomong malu tahu, itu baru
mahasiswa kritis dan berbudaya,” kata Fahri yang sedari tadi kata-katanya
selalu menusuk mungkin langsung tepat di jantungnya Anto.
Dan ternyata benar wajah Anto yang semula
bersemangat jadi meredup sepertinya dia benar-benar merasa kikuk oleh
kata-katanya Fahri. “Sorry deh sorry, aku kan tadi juga udah minta
maaf. Tapi mulai sekarang aku bakal membudayakan kesadaran diri deh,” kata Anto
yang terlihat bersungguh-sungguh.
“Ekhm… bener ya. Katamu mahasiswa itu harus kritis
dan berbudaya jadi kalau misalnya melanggar dengan apa yang dikatakan harus
dapat konsekuensinya ya itung-itung sebagai bukti kamu sungguh-sungguh bakal
membudayakan kesadaran diri atau enggak,” kataku kepada Anto. “Iya, boleh-boleh.
Biar perilakuku bisa sepadan dengan perkataanku,” kata anto lagi.
Sepertinya aku mendapatkan peluang manis untuk
menjebaknya. “Oke kalau kamu setuju dan ternyata kamu sadar juga kalau
perilakumu tidak sepadan dengan perkataanmu. Dan seperti yang kamu katakan bahwa
kamu siap menerima konsekuensinya jika melanggar. Kalau gitu pungutin dulu tu
putung-putung rokokmu abis itu baru kita kerjakan tugasnya. Tapi ingat harus
digigit hahaha,” kataku.
“Iya, betul tu! Hahaha..” kata Fahri dan Imam yang
hampir bersamaan. “Aku juga udah mendokumentasikan bukti-buktinya, kalau kamu
menolak jangan salahkan kita kalau masalah ini muncul di grup kelas hayoo!
makanya pikir dulu sebelum ngomong hahaha..” Timpal Randy memperkuat tuduhanku.
“Ya, ya,ya… Tapi bukan gitu juga. Aduh! Gimana ya,
sial kenapa aku tadi buang sampah sembarangan. Hah! Yaudah deh,” keluh Anto dan
kemudian dia tertunduk sembari mengacak-acak rambutnya dan kami berempat
tertawa terbahak-bahak.