Mine-Petra Sihombing

Minggu, 06 Agustus 2017

Coba Pikir Dulu!


Oleh: Slayer Andi




Perkara yang paling menyebalkan saat pertemuan adalah ketidaksesuaian kesepakatan waktu. Yah, sebuah keterlambatan. Budaya yang benar-benar harus dilenyapkan dan tidak patut dilestarikan. Aku bingung dengan perkara itu, banyak orang yang membencinya dan mengutuknya tapi banyak pula yang melestarikannya entah secara sadar atau memang sudah menjadi sesuatu yang biasa. Dan yang paling menyebalkan ketika orang yang mengutuknya adalah orang yang melestarikannya pula.

Satu jam sudah aku dibuat bosan oleh ketidakdatangan seorang teman sekelompokku. Ide-ide yang sudah aku susun untuk pembahasan tugas kami, lama-lama memudar oleh mendidihnya emosi di kepalaku. Bagaimana tidak, seseorang yang hanya menggampangkan keputusan tanpa memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Batang hidungnya belum ada muncul sama sekali. Hah! Benar-benar membuatku emosi.

“Mam, coba hubungi si Anto sudah dimana dia sekarang! Gampang betul dia kemarin membuat perjanjian ujung-ujungnya dia sendiri yang melanggar kesepakatan.” Kataku kepada Imam. Dan segera ia merogoh handphone di kantong celananya. Tidak lama obrolan pun berlangsung antara Imam dan Anto yang terdengar suaranya bergemuruh tidak jelas dari handphone. Sedangkan di tangga terlihat Fahri yang memanfaatkan waktu untuk tidur sebentar dan Randy yang sibuk dengan handphonenya. “Tahu gitu aku tidur aja tadi di kos, lumayan dapat satu jam. Ujung-ujungnya juga jam 9 mulainya, bahkan lewat mungkin,” celetuk Fahri yang telah terbangun dan melirik jam yang melingkar ditangannya.

Imam menutup panggilannya kemudian duduk di sebelah Randy dengan wajah cemberut. “Dimana sudah dia Mam?” Tanyaku. “Di Jerman. Hah! asem memang anak itu bisanya baru mau berangkat.” Jawab Imam dengan penuh kekesalan. Mata Fahri melotot setelah Imam mengatakan bahwa Anto baru mau berangkat. Mau diapakan lagi  kalau begini, biar jam di tangan maupun di handphone diatur mundur lagi tetap hasilnya sama sebuah keterlambatan. Lantas, aku duduk di samping ke tiga temanku yang sudah bosan berdiri menunggu seseorang yang tidak sesuai dengan perkataannya.

Sepuluh menit kemudian terlihat seseorang memakai jaket real madrid dan motor Jupiter MX datang. Yah, kami sudah hafal itu pasti si Anto. Setelah memarkir motornya dia berjalan mendekat dengan wajah tak bersalah sembari cengar-cengir.

“Hehehehe, kalian udah lama ya? Sorry aku kesiangan eh, gara-gara nonton pertandingan sepak bola semalam,” ujar Anto sembari menggaruk-garuk kepalanya yang pasti tidak gatal itu. Kami berempat hanya memberikan wajam masam kepadanya. “Hmh, pokoknya besok jam 8 harus sudah kumpul di bawah kantor PKK dekat Taman Cerdas. Hah! Prett…” ketus Fahri yang mengulang perkataan Anto kemarin. Anto yang tadi menunjukkan wajah konyolnya sekarang seperti mulai merasa bersalah. “Iya,iya. Sorry aku semalam lupa, gara-gara ada pertandingan sepak bola sih, makanya aku bangun kesiangan.” Beber Anto.

Kemudian aku berdiri. “Pertandingan sepak bola itu gak bersalah, orang mereka mau main. Apa urusannya sama kamu, alasan aja. Sudah ayo langsung buat lingkaran. Bahasin kamu malah gak selesai-selesai.” Kataku.

Kemudian kami semua duduk di lantai dan membuat lingkaran. Randy menyalakan laptopnya, aku, Fahri dan Imam mengeluarkan buku catatan dan buku teori sedangkan Anto justru menyalakan rokoknya. “Hehehe, tenang coy aku buat antisipasi nyamuk ni,” dalih Anto. “Ya, terserahmu lah!” ujar Randy.

Sejenak suasana jadi hening namun sesekali terdengar suara lembar buku yang dialihkan dari lembar ke lembar dan kepulan asap rokok yang melayang-layang di wilayah lingkaran. Kemudian Imam berdehem untuk memecahkan suasana. “ekhm..khm. Jadi, kira-kira apa ini yang akan kita bahas untuk tugas Dinamika Kebudayaan?” Kata Imam.

Semuanya saling bertukar pandang berharap ada salah satu orang yang mengusulkan. “Saranku kalau bisa kelompok kita bisa menyuguhkan pembahasan yang berbeda dari kelompok lain, yang sekiranya menarik perhatian dan kalau bisa apa yang terjadi disekitar kita. Cobalah untuk membahas sesuatu yang dekat tidak usah muluk-muluk membahas yang lebih jauh,” saranku kepada teman-teman.

Teman-temanku pada mengangguk-anggukkan kepala sebagai simbol persetujuan atas saran yang ku ajukan. Lalu mereka mencoba memikirkan hal itu dengan berbagai gaya yang mereka lakukan ada yang memencet-mencet handphonenya, ada yang memainkan jari telunjuk di  dahinya, ada yang seperti pendekar melipat tangannya di dada dan memejamkan matanya dan ada pula yang tetap dengan gaya awalnya, sibuk menghembas-hembuskan rokoknya bahkan sudah 3 batang rokok yang ia hisap dan dibuangnya disembarang tempat sedangkan aku hanya memperhatikan mereka satu per satu sembari tersenyum.

Tidak lama kemudian  Anto menggertak dan membuang putung rokok terakhirnya sehingga membuat kita semua merasa kaget dibuatnya. “Hyaaaa! Aku tahu, ya aku tahu!” Gertaknya membuat kita semua melayangkan pandangan tajam ke arahnya. “Asem! Tahu ya tahu tapi gak usah pakai gertakan gitu ngomongnya, emang kamu kira jantung kita ada cadangannya?” ketus Fahri yang sepertinya merasa jengkel.

“Hehehe, sorry-sorry. Masalahnya ilhamnya juga datangnya tiba-tiba kaya meteor yang langsung masuk ke kepalaku. Jadi ya spontan aku ngomongnya hehehe,” ujar Anto. Kami semua langsung menggeleng-gelengkan kepala. “Jadi apa idemu awas kalau ngaco,” ancam Randy yang ternyata juga merasa geregetan. “Jadi gini, Seminggu yang lalukan Samarinda dibuat resah dengan terjadinya banjir dimana-mana. Sebagai mahasiswa yang kritis dan berbudaya kita harus peka dengan keadaan itu. Kita buat aja pembahasan tentang budaya kesadaran diri terhadap lingkungan dan kita masukkan aja ke dalam pembahasan kalau kita mengutuk orang-orang yang membuang sampah sembarangan kalau misalnya ketahuan kita usulkan sanksi memungut dengan cara digigit biar lebih jera orang-orang itu. Sepertinya itu sangat menarik dan mungkin bisa jadi nilai plus untuk kita.” Ujar Anto.

Terkadang kami jengkel dengan ulah Anto tapi terkadang kami juga dibuat tertarik dengan ide-idenya. “hmm… aku heran dengan anak ini ternyata otaknya kritis juga kalau masalah cari ide tapi sayang perilakunya tidak sama dengan ide-idenya,” batinku. Di sisi lain Randy mengangkat handphonenya dan sepertinya ia memotret sesuatu. “Budaya kesadaran diri prettt…! Kesadaran datang tepat waktu aja dilupakan, gitu ngusulin budaya kesadaran diri, introspeksi diri dulu baru ngomong malu tahu, itu baru mahasiswa kritis dan berbudaya,” kata Fahri yang sedari tadi kata-katanya selalu menusuk mungkin langsung tepat di jantungnya Anto.

Dan ternyata benar wajah Anto yang semula bersemangat jadi meredup sepertinya dia benar-benar merasa kikuk oleh kata-katanya Fahri. “Sorry deh sorry, aku kan tadi juga udah minta maaf. Tapi mulai sekarang aku bakal membudayakan kesadaran diri deh,” kata Anto yang terlihat bersungguh-sungguh.

“Ekhm… bener ya. Katamu mahasiswa itu harus kritis dan berbudaya jadi kalau misalnya melanggar dengan apa yang dikatakan harus dapat konsekuensinya ya itung-itung sebagai bukti kamu sungguh-sungguh bakal membudayakan kesadaran diri atau enggak,” kataku kepada Anto. “Iya, boleh-boleh. Biar perilakuku bisa sepadan dengan perkataanku,” kata anto lagi.

Sepertinya aku mendapatkan peluang manis untuk menjebaknya. “Oke kalau kamu setuju dan ternyata kamu sadar juga kalau perilakumu tidak sepadan dengan perkataanmu. Dan seperti yang kamu katakan bahwa kamu siap menerima konsekuensinya jika melanggar. Kalau gitu pungutin dulu tu putung-putung rokokmu abis itu baru kita kerjakan tugasnya. Tapi ingat harus digigit hahaha,” kataku.

“Iya, betul tu! Hahaha..” kata Fahri dan Imam yang hampir bersamaan. “Aku juga udah mendokumentasikan bukti-buktinya, kalau kamu menolak jangan salahkan kita kalau masalah ini muncul di grup kelas hayoo! makanya pikir dulu sebelum ngomong hahaha..” Timpal Randy memperkuat tuduhanku.

“Ya, ya,ya… Tapi bukan gitu juga. Aduh! Gimana ya, sial kenapa aku tadi buang sampah sembarangan. Hah! Yaudah deh,” keluh Anto dan kemudian dia tertunduk sembari mengacak-acak rambutnya dan kami berempat tertawa terbahak-bahak.

                                                                                     (Samarinda Post, 29 April 2017)

Gara-Gara Pelajaran Mantra

Oleh: Slayer Andi




Sebagian orang jika mendengar jurusan sastra pasti kalimat yang diucapkan adalah, oh, yang belajar tentang puisi dan cerpen, ya? Kebanyakan seperti itu. Walaupun bentuk kalimatnya berbeda, puisi atau cerpen tetap tidak tertinggal saat menanggapi pembahasan tentang sastra. Tidak masalah. Sebab, itu menjadi ciri khas pengenal jurusan sastra di mata masyarakat umum. Meskipun kenyataannya tidak hanya mempelajari itu saja.
Setelah menyelesaikan semester pertama, aku mulai paham tentang jurusan sastra. Jurusan ini tidak hanya mempelajari seputar puisi dan cerpen. Ruang pembahasannya sangat luas, bahkan mempelajari tentang budaya manusia, khususnya di Indonesia. Aku mengambil sastra Indonesia. Dua minggu yang lalu, dua sahabatku, mengalami kondisi jiwa dan pemikiran yang aneh. Pasalnya, kami menerima pelajaran tentang mantra di mata kuliah tradisi sastra nusantara. Tak ayal, sahabatku memiliki spekulasi yang aneh-aneh. Bayu membayangkan bahwa mantra berhubungan dengan kekuatan seperti dalam film-film dan Faisal menghubungkan dengan hal mistis. Sedangkan aku hanya diam saja karena tidak tahu dan memang tidak mau tahu.
Jadi kronologisnya seperti ini. Siang itu setelah salat Jumat, aku langsung berangkat ke kampus. Kampus kebanggaanku, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman dengan ikon kebanggaannya, mall SCP–hanya berdekatan saja—sebagai petunjuk bagi mahasiswa yang kuliah di Gunung Kelua. Itu jika tidak mengetahui di mana letak Fakultas Ilmu Budaya. Sesampainya di kampus, seperti biasa aku nongkrong bersama dua sahabatku di bawah gazebo sembari menunggu dosen datang. Dan waktu itu, aku yang memulai pembicaraan dengan menceritakan mimpi yang aku alami semalam.
Eh gaes, semalam aku bermimpi kita itu belajar di sebuah tempat yang mirip dengan padepokan, lalu kita itu disuruh menulis kata-kata yang diucapkan oleh seorang kakek tua dan kata-katanya itu aku lupa. Pokoknya aneh dan asing di telingaku,” kataku.
“Wah, jangan-jangan kamu mau dikasih ilmu itu, Gas,” sahut Bayu. “Ya Gas, bisa jadi. Soalnya abah aku bilang kalau orang bermimpi didatangi kakek-kakek dan mengajarkan sesuatu, itu tandanya orang tersebut dikasih ilmu,” timpal Faisal, mempertegas pendapat Bayu.
“Hah, kalian ini ngaco. Masih saja percaya yang begituan. Sudahlah, ayo kita masuk kelas, itu dosen datang,” kataku.  Kemudian kami masuk kelas, sedangkan Faisal merangkul pundak Bayu membisikkan sesuatu yang mungkin berkaitan dengan mimpiku semalam.
Pelajaran dimulai dan suasana kelas menjadi lebih berbeda dari hari-hari sebelumnya. Sebab kali ini, dosen membahas tentang mantra. Dia menjelaskan, bahwa mantra ada kaitannya dengan sastra karena termasuk kategori puisi lama. Proses belajar-mengajar semakin khidmat. Entah pelajarannya sedikit sakral atau mungkin memang semuanya tertarik untuk memahami lebih detail tentang mantra. Aku pun mendengarkan dengan seksama dan sedikit menggeser posisi kursi supaya lebih nyaman.
Tiba-tiba Bayu membisikkan sesuatu di telingaku. “Eh Gas, mungkin mimpimu itu ada benarnya. Buktinya kita lagi diajarkan materi tentang mantra. Mantra itu termasuk ilmu juga, lho,” ucapnya.
Karena telingaku sudah sedikit jengkel mendengar pendapat yang aneh-aneh dari Bayu, secara tidak sadar aku menyahutnya dengan sedikit berteriak. “ Sembarangan!” Serentak teman-teman perhatiannya beralih kepadaku. Bahkan, dosen pun kaget.
“Bagas, kamu kenapa? Apanya yang sembarangan?” tanya dosen. Dengan sedikit malu, aku menjawab dengan alasan lain. “E anu, Pak. Tadi Bayu bertanya kepada saya apakah mantra boleh digunakan untuk bermain-main. Maka dari itu saya menjawabnya dengan sedikit berteriak. Mungkin karena mantra itu terlalu sakral ya, Pak. Jadi, saya menanggapinya sedikit terbawa arus,” dalihku.
Teman-teman yang lain serta dosen hanya menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian, proses belajar-mengajar kembali seperti semula sampai jam menunjukkan pukul 15.30 Wita. Sebelum menutup perkuliahan, dosen memberikan tugas untuk mencari satu mantra dari suku kami masing-masing.
Karena jam kuliah tidak ada lagi, aku, Bayu, dan Faisal memutuskan untuk langsung pulang ke indekos. Indekos kami dekat dari kampus, yakni di Gang Bakti. Di tengah perjalanan, Bayu dan Faisal kembali mengajakku membahas sesuatu. Kali ini bukan masalah mimpiku, melainkan menghubungkan antara mantra dengan kata-kata yang biasa aku ucapkan ketika menghadapi sebuah masalah. “Eh Gas, aku kan nggak tahu mantra apa yang mau aku jadikan tugas nanti. Gimana kalau aku pakai mantramu saja, yang jer beo-beo itu. Aku lihat juga manjur juga, kok,” ujar Bayu.
Padahal hari telah menjelang sore, tapi rasanya kepalaku masih saja merasa panas. “Heh, kamu ini Bay. Sudahlah, jangan membahas sesuatu yang absurd. Jer basuki mawa bea itu bukan mantra, tapi falsafah Jawa yang menjadi  motivasi hidupku. Jadi, tidak ada kaitannya dengan mantra. Sudahlah, jangan aneh-aneh,” tegasku.
Di sisi lain, ternyata Faisal masih tetap mendukung Bayu. “Gimana ya, Gas. Bukannya aku mendukung Bayu. Tapi kenyataannya memang begitu. Buktinya waktu itu kamu bisa menang lomba baca puisi dan bisa memperbaiki motormu setelah baca mantra itu. Padahal kamu kan sebelumnya tidak ada bakat membaca puisi apa lagi servis motor. Bongkar motor saja baru itu,” beber Faisal.
Kali ini kepalaku benar-benar telah mendidih dan rasanya ingin meledak mendengar gagasan aneh dari kedua sahabatku ini. “Kalau kami tidak percaya, ayo kita buktikan. Itu di depan ada mobil mogok yang didorong empat orang bapak-bapak dengan sopirnya yang masih mengemudi mengatur persneling dan kontaknya agar bisa hidup. Gimana kalau kita bantu,” ujar Bayu.
Kebetulan di depan ada mobil pikap mogok yang sepertinya membutuhkan bantuan tenaga untuk mendorong mobil tersebut. Akhirnya, kami pun menawarkan diri untuk membantu. Dan ternyata, ada peningkatan tenaga sehingga kecepatan dorongan semakin bertambah. Namun hasilnya tetap nihil. Tiba-tiba Bayu berkata pada bapak-bapak dan sopirnya itu. “Oke, bapak-bapak sekalian. Sebenarnya tenaga kita sudah cukup. Akan tetapi, hasilnya masih saja nihil. Jadi, saya menawarkan bahwa kita bersama-sama membaca mantra penambah kekuatan supaya mobilnya bisa hidup,” kata Bayu.
Benar-benar sudah kerasukan sahabatku ini. Tapi anehnya bapak-bapak dan sopirnya itu seperti terhipnotis. Mereka mengangguk. Entah, karena tertarik atau memang sudah pasrah, mereka menurut saja. Apapun caranya, yang penting mobilnya bisa hidup. Kemudian kami pun kembali mendorong sembari membaca jer basuki mawa bea berulang-ulang dengan penuh semangat. Tak disangka, akhirnya mesin mobil itu menyala. Bapak-bapak itu menyalami kami dan mengucapkan terima kasih atas bantuannya dan meminta kalimat falsafah Jawa itu untuk mereka catat. Dan bisa digunakan jika sewaktu-waktu mereka mengalami kendala.
Setelah bapak-bapak itu pergi, Bayu dan Faisal merangkulku sembari tersenyum-senyum. “Gimana, kamu akhirnya percaya? Kalau ternyata kata-katamu selama ini itu mantra,” ujar Bayu. Aku masih saja diam. Namun seketika aku kembali sadar dan menjelaskan kepada mereka bahwa semua itu tidak benar.
 “Gaes, kalian tahu kenapa kita tadi berhasil? Sebenarnya bukan karena kalimat itu melainkan keyakinan dan harapan kita yang teguh disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh. Coba saja kalian membaca kalimat yang lain dengan keyakinan, harapan dan usaha seperti tadi hasilnya pun akan sama. Jer basuki mawa bea itu hanya falsafah Jawa yang aku jadikan motivasi hidupku bahwasanya untuk menggapai keberhasilan diperlukan usaha bukan sekedar kata-kata! Ayolah, kita berpikir lebih luas lagi!” kataku kepada kedua sahabatku. Kemudian mereka berdua terdiam dan memandang langit, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
                                                                                                             (Kaltim Post, 20 Maret 2017)

Selasa, 02 Mei 2017

Nyanyian Rakyat Jawa “E dayohe teko”

Nyanyian Rakyat Jawa “E dayohe teko
Oleh: Muhammad Andi Fitrahman

Nyanyian rakyat atau dalam ilmu folklor disebut dengan folksongs. Menurut Jan Harold Brunvand, nyanyian rakyat merupakan bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu(Danadjaja, 2007:141). Nyanyian rakyat memiliki varian sebab penyebarannya yang luas dan secara lisan sebagaimana dongeng. Jika membahas tentang nyanyian rakyat di Indonesia pasti tanggapannya O.. banyak sekali! Bagaimana tidak, suku di Indonesia terkenal dengan jumlah dan macam-macamnya yang sangat banyak. Jadi, tidak salah lagi jika nyanyian rakyatnya juga begitu banyak.


Dalam pembahasan ini saya akan membahas sebuah nyanyian rakyat jawa yaitu “E dayohe teko”. Bagi masyarakat Jawa yang Jawa, pasti tidak asing dengan lagu atau tembang ini. Sebuah lagu yang sangat cocok untuk memberikan petuah bahkan jika ingin menyampakan berpuluh-puluh petuah tetap tidak masalah. Sebab, lirik lagu tersebut selalu berlanjut sesuai yang menyanyikan sanggup merangkai kata sampai dia tidak sanggup lagi. Maka, tidak salah jika lagu tersebut memiliki beberapa varian. Berikut adalah lirik dasarnya:


E dayohe teko
E   dayohe  teko
E  gelarno  kloso
E  klosone  bedah
E  tembelen  jadah
E  jadahe  mambu
E  pakakno  asu
E  asune  mati
E  buak en  kali
E  kaline  banjir
E  buak en  pinggir


Terjemahan:

E tamunya datang
E  tamunya  datang
E  gelarkan  tikar
E  tikarnya  robek
E  tambalkan  jadah
E  jadahnya  bau
E  kasihkan  anjing
E  anjingnya  mati
E  buang  ke sungai
E  sungainya  banjir
E  buang  ke pinggir


Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya lirik di atas merupakan lirik dasar. Mengapa saya menyebutnya dasar?  Sebab lirik tersebut jika kita tinjau dan membaca beberapa literasi akan ada beberapa varian setelah lirik E buak en pinggir. Bahkan tidak hanya lirik setelah itu kata buak en tersebut dalam beberapa varian ada yang memakai kata guak en, kelek no dan lain sebagainya. Tapi hal itu tidak dipermasalahkan sebab maksud tujuannya juga sama yakni, untuk membuangnya.

Untuk masalah penerjemahan lirik, sekiranya itu sudah tepat sesuai dengan arti baku dari per kata dan dapat dimengerti. Jadi, tidak perlu bersusah payah menerjemahkan kata atau menentukan arti yang sekiranya tepat dengan kata aslinya. Perlu diketahui bahasa jawa dalam hal penerjemahan ke bahasa Indonesia tidak serumit bahasa Inggris yang menurut saya tidak konsisten, arti baku dari kata tertentu jika dipakai dalam sebuah kalimat bisa berubah arti dan maknanya. Bahasa jawa tidak demikian, jika kata baku berarti (….) dan ketika digunakan dalam kalimat artinya pun akan sama (.…) tidak ada perubahan. Misalnya, kata “Yang” dalam bahasa jawa “seng” dan ketika dipakai dalam kalimat tetap memakai “seng” bukan yang lain. Beda dengan bahasa inggris untuk kata “Yang” dapat memakai that, who, what, bukankah ketiga kata tersebut memiliki arti dasar sendiri? Berikut sedikit pengetahuan tentang penerjemahan bahasa jawa.

Baik, kembali lagi kepembahasan lagu E dayohe teko. Karena pada penjelasan sebelumnya saya mengatakan bahwa akan membahas lagu tersebut. Jadi, sah-sah saja jika saya membahas ke yang lain tidak hanya seputar arti ataupun makna yang terpenting tetap dalam wilayah pembahasan lagu E dayohe teko. Untuk arti mungkin sudah dapat dimengerti dan untuk makna mungkin saya akan membahas sedikit. Sebab sudah banyak literasi-literasi yang mengulas makna pada lagu tersebut.. Dan Perlu diketahui dalam hal penafsiran atau pemaknaan ada beberapa varian, kenapa saya mengatakan seperti itu? Sebab, ada beberapa tipe pemaknaan ada yang menggunakan persepektif dari rangkainan kalimat, ada yang menggunakan dari perspektif rujukan kata(maksud kata atau menelusuri kata tersebut sebenarnya tersirat dalam bahasa apa) dan lain sebagainya. Sama seperti pemaknaan dalam lagu ini saya mencoba menggunakan pemahaman makna kalimat dan rujukan beberapa literasi.

 Dalam kalimat E dayohe teko, bahwasanya kita harus tahu kalau dikehidupan ini kita tidak terlepas dengan yang namanya hal-hal yang akan datang menghampiri kita entah itu tamu yang berupa manusia, takdir, nasib, masalah ataupun yang lainnya.

E gelarno kloso, setelah kita memahami dan menyadari bahwa dalam kehidupan kita akan menerima hal-hal yang akan menghampiri maka kita disarankan untuk menggelarkan atau meluaskan hati dan ikhlas sebagaiman tikar yang ikhlas menerima sesuatu yang diletakkan diatasnya dan walaupun diinjak-injak.

E klosone bedah, Nah disini kita mendapatkan masalah yakni, tikarnya rusak atau robek yang dapat dimaknai bahwa hati atau wadah perasaan manusia ini dapat mengalami sebuah kerusakan atau perlu kita ingat dibeberapa manusia pasti ada hatinya yang telah rusak sehingga tidak mampu menahan masalah yang datang.

E  tambalno jadah(makanan jawa yang lengket). Ketika hati telah rusak dan tidak mampu menahan masalah-masalah yang akan datang. Maka perlu yang namanya perbaikan, tidak harus dengan perihal yang muluk-muluk semisal sampai diruqiyah, dengan solusi apapun walaupun itu sederhana yang terpenting mampu mengembalikan hati sebagaiman fungsinya.

E  jadahe mambu, Jika solusi yang sederhana itu juga tidak mampu mengembalikan hati kita maka solusi tersebut menjadi sia-sia belaka.

E  pakakno asu, Jika solusi tersebut tidak merespon sama sekali dengan hati yang telah rusak itu. Mungkin ada baiknya jika solusi itu kita bagikan kepada orang lain siapa tahu, jika orang lain yang menggunakan akan lebih bermanfaat.

E  asune mati, tapi terkadang solusi yang kita berikan ke orang lain juga tidak berefek maka hal itu lebih menjadi sia-sia lagi.

E  buak en kali, coba dibagikan dimasyarakat kira-kira seperti apa menjadi sesuatu yang bermanfaat atau malah menjadi masalah.

E  kaline banjir, dan jika benar malah menjadi masalah besar. E  buak en pinggir, Maka bisa kita simpulkan bahwa sekecil apapun cara, solusi ataupun pendapat kita perlu hati-hati, pahami terlebih dahulu kira-kira bermanfaat atau malah menjadi masalah bagi orang lain apalagi jika kita mencoba sebarluaskan. Dan solusi terakhirnya jika hasilnya begitu. Baiknya kita ambil kembali dan jangan disebarluaskan lagi.

Demikian pemaknaan singkat dari lagu E dayohe teko. Yang membuat menarik dari lagu ini adalah bahwa dikehidupan ini kita akan selalu dihadapi sebuah masalah tapi jangan khawatir setiap masalah pasti ada solusinya walaupun berakhir panjang sebagaimana lagu tersebut yang terus berjalan, bait pertama sebagai masalah maka bait kedua sebagai solusi begitu seterusnya. Selain itu, ada fakta menarik dari lagu ini terhadap suku jawa. Jika umumnya kita mendapat atau menerima informasi terbaru kita mengucapkan kata “O”  sebagai respon atau jawaban bahwa kita baru tahu. Suku jawa pun seperti itu namun beda kata yang diucapkan bukan kata “O” melainkan “E” khususnya orang jawa yang masih jawa.

Semoga kalian semua dapat memahami beberapa kata tersirat saya. Hal tersebut semata saya mengajak kalian untuk dapat merasakan pula atmosfer yang saya bahas ini setidaknya turut “berpikir” memikirkan maksud-maksud kata atau kalimat-kalimat tersirat saya. Melalui tulisan ini saya sangat berharap agar budaya Indonesia tetap terlestarikan dan memotivasi para penerus bangsa khususnya. Agar lebih perduli, kritis akan sesuatu yang kecil maupun yang besar dan memahami kondisi bangsa kita.

Referensi:

Danandjaja, James. 2007. Folklor INDONESIA. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti

Sabtu, 29 April 2017

Ringkasan Polemik Pengadilan Puisi

Ringkasan
Pengadilan Puisi Indonesia
Pamusuk Eneste









Oleh:
Muhammad Andi Fitrahman
1614015048
Sastra Indonesia B



A. Latar Belakang

Setelah terjadinya peristiwa G30S/PKI ternyata banyak polemik-polemik yang timbul. Tidak hanya permasalahan ekonomi maupun politik bahkan di dunia kesusastraan juga. Salah satunya ialah pengadilan puisi. Bermula dari Darmanto Jt yang memperhatikan kehidupan puisi di Indonesia yang menurutnya bahwa penyair Indonesia masih belum bisa keluar dari bayang-bayang sang penyair Chairil Anwar. Kemudian kritikus Indonesia, H.B. Jassin. Yang dibilang terlalu mau mendidik dengan selalu memberi senyuman kepada tiap akademisi, terlalu analisis. Dan membandingkan dengan kritikus yang lain yang menurutnya lebih banyak kritikus yang bertindak sebagai pejabat-pejabat pengadilan: merumuskan tuduhan, mendengarkan saksi-saksi, mendengarkan pembelaan, kemudian memutuskan hukuman. Maka dari itu apa salahnya jika kita meminta pengadilan untuk puisi.

Yang selanjutnya, menurut Sapardi Djoko Damon, gagasan asli pengadilan puisi datang Darmanto  pada tahun 1970  dan dimaksud sebagai badutan. Pada tahun 1972, Darmanto mengumumkan gagasan itu dalam sebuah karangannya yang berjudul “Tentang  Pengadilan Puisi”. Dan baru diwujudkan pada tahun 1974 di Bandung.


B. Persiapan pengadialan puisi Indonesia

Dimulainya acara tersebut setelah surat undangan dari Ketua Yayasan Arena, Djen Amar S.H melalui Sutardji Calzoum Bachri mendapat jawaban dari Taufiq Ismail. Pada mulanya pengadilan puisi akan dilaksanakan pada bulan Agustus namun karena Taufiq Ismail ada kendala maka ketetapan acara dilaksanakan pada 8 September 1974.

Harian Kompas 4 September 1974 menyiarkan acara baca puisi di Bandung yang dihadiri penyair ternama, dari bandung ada Wing Kardjo, Sanento Yuliman, Saini K.M, Sutardji kemudian dari luar kota  ada Muhammad Ali(Surabaya), Darmanto Jt(Semarang), Umbu Landu Paranggi(Yogyakarta), Taufiq Ismail dan Slamet Kirnanto(Jakarta). Selain pembacaan puisi akan diadakan pula pengadilan puisi dan dibuka untuk umum.

Dua jam sebelum acara dimulai Djen Amar dan Sanento Yuliman memberikan penjelasan kepada Taufiq Ismail mengenai pengadilan puisi mutakhir itu. Bahwa rekan-rekan dari Bandung menginginkan bentuk yang beda dari pembahasan kesusastraan. Dan diambillah gagasan Darmanto berupa pengadilan yang nyata. Puisi Mutakhir Indonesia menjadi terdakwa,  Slamet Kirnanto dijadikan jaksa, hakim ketua Sanento Yuliman, hakim pendamping Darmanto Jt, Taufiq Ismail dan Sapardi Djoko Damono ditawari menjadi pembela namun karena Sapardi tidak datang karena kurang enak badan maka Taufiq meminta Handrawan Nadesul sebagai penggantinya. Sedangkan saksi dibagi menjadi dua  golongan, yang memberatkan dan yang meringankan. Golongan pertama ada Sutardji, Sides Sudyarto, Abdul Hadi dan Pamusuk Eneste sedangkan golongan kedua ada saini K.M, Wing Kardjo, Adri Darmadji dan Yudhistira Ardi Noegraha. Sama seperti pada tim pembela  karena Muhammad Ali dan Umbu Landu Paranggi tidak datang personalia saksi diubah.


C. Berlangsungnya Acara

Sebuah kursi kosong diletakkan di tengah ruangan pengadilan, sebagai tempat terdakwa yang tak berjasad(Puisi Mutakhir Indonesia), para hakim telah duduk(meja mereka ditutup dengan beledu hijau sedangkan untuk palu memakai batu yang dibungkus koran), begitupun dengan jaksa, saksi dan pembela telah duduk ditempatnya masing-masing. Hadirin kala itu sekitar 200 orang yang bertempat di Aula Universitas Parahyangan.

.  Slamet Kirnanto membacakan tuntutannya dengan judul “Semangat Zola 76 Tahun yang lalu” dan ada beberapa kalimat pertama yang membuat orang-orang yang hadir terngiang-ngiang: “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-akhir ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!”. Begitu ucapnya.

Dakwaannya berupa sejumlah kejengkelan terhadap kritikus puisi, Khususnya M.S. Hutagalung dan H.B. Jassin. M.S Hutagalung yang menjagokan Subagio Sastrowardoyo dan H.B. Jassin yang menjagokan W.S. Rendra, mereka tidak ada sedikitpun membicarakan Sutardji Calzoum Bachri dan Darmanto Jt yang membawa “Gejala Pembaharuan”. Selain itu ia juga membahas polemik-polemik yang terjadi  antara dua kritikus diatas menurut pengamatannya. Tembakan-tembakan kejengkelan ia bicarakan dalam pengadilan  tersebut. Tidak hanya kepada kritikus Slamet juga ada menyebut-nyebut media sastra Horison dan Budaya Jaya yang tidak mampu lagi menjalankan perannya dan mengatakan bahwa media tersebut telah menjadi majalah keluarga sebab hanya penyair-penyair itu-itu saja yang dilirik dan masih banyak lagi. Intinya ada empat poin tuntutannya, yaitu:

Tuntutan yang pertama: para kritikus tidak mampu lagi mengikuti perkembangan puisi mutakhir, khususnya dua kritikus diatas harus “dipensiunkan”.
Tuntutan yang Kedua: Para editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono) dicutibesarkan.
Tuntutan yang ketiga: Para penyair mapan seperti Subagio, rendra, Goenawan dan sebangsanya dilarang menulis puisi dan para epigonnya harus dikenakan hukum pembuangan, kemudian inkarnasinya dibuang dipulau paling terpencil.
Tuntutan yang keempat: Horison dan Budaya Jaya harus dicabut Surat Izin Terbitnya dan yang sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku dan dilarang untuk dibaca peminat sastra serta masyarakat umum. Hal itu sesuai dengan “Kitab Undang-undang Hukum Puisi”.

Setelah jaksa menyelesaikan pembicaraan tuntutannya maka sekarang giliran saksi yang memberikan kesaksiannya dan dapat diduga. Sutardi si kucing Riau memberikan kesaksian dengan semangat yang menempeleng tinggi bahkan ia merencanakan pembakaran Horison yang dianggapnya majalah “Diktaktor”. Abdul Hadi yang menurut surat kabar Bandung akan menyerang Goenawan(menurut jaksa yang berita tersebut dibuat oleh Hadi sendiri). Hadi mengatakan bahwa sastra Indonesia buruk, belum sebagus sastr jawa Kuno. Sides beranggapan bahwa sesudah Chairil, tidak ada puisi ditulis lagi di Indonesia. Saini kembali mengemukakan jalur persajakan Indonesia diantara yang paling Nampak dewasa ini dalah jalur yang diciptakan Goenawan, disempurnakan Sapardi  dan diikuti Abdul Hadi. Adri dan Yudhistira berpendapat bahwa “Puisi Indonesia baik-baik dan sehat-sehat saja badannya”.

Usai para saksi memberikan kesaksiannya maka hakim mempersilahkan hadirin memberikan kesaksian pula. Ada Sembilan orang dari hadirin maju. Diantaranya,  Vredi Kastama  Marta, pengarang drama syekh siti jenar, merasa gusar sebab dia jauh-jauhdari sukabumi hanya untuk menonton “promosi murahan” dan mengajukan supaya hakim nanti setelah acara meminta maaf pada puisi Indonesia. Rustandi Kartakusuma menyebut pengadilan ini hanya permainan kanak-kanak dan berpendapat bahwa sastra Indonesia sesudah Chairil, Cuma Kitsch.  Hidayat LPD setuju dengan pengadilan seperti ini, menyokong teori Saini dan menegaskan bahwa Abdul hadi adalah penyair epigon. Sumartana mensinyalir bahwa dalam acara ini  para penyair onani bersama, berpuas-puas diri. Puisi sekarang tidak ada yang ada hanyalah rangkaian kata. Dami N. Toda mengemumakan gejalaepigonisme “Universal”.

Pembela menolak empat diktum tuduhan jaksa. Semangat larang-melarang itu tidak sehat sifatnya, tidak baik untuk kesehatan ginjal penyair. Terutama ginjal kanan, mereka yang epigon biarkan saja, kenapa mesti diurus. Suatu saat orang kan berkembang? Jangan melawan biologi.

Sidang dihentikan sejenak untuk para hakim menyusun keputusannya dengan mengindahkan Kitab Undang-undang Hukum Puisi, mempertimbangkan Hukum Adat serta membaca Cerita Adat.

Hakim Darmanto menolak semua tuntutan jaksa. Diputuskannya pula bahwa puisi mutakhir Indonesia memang ada, Cuma belum berkembang, bunyi keputusannya sebagai berikut:

Pertama, Para kritikus sastra tetap diizinkan untuk menulis dan mengembangkan kegiatan serta meneruskan eksistensinya dengan catatan harus segera mengikuti kursus penaikan mutu dalam Sekolah Kritikus Sastra.
Kedua, Para redaktur Horison tetap diizinkan terus memegang jabatan mereka, selama tidak merasa malu.
Ketiga, Para penyair mapan masih diberi peluang untuk berkembang. Begitu juga para penyair epigon dan inkarnasinya. Boleh tetap menulis dengan keharusan segera masuk kedalam Panti Asuhan atau Rumah perawatan epigon.
 Keempat, majalah sastra Horison tidak perlu dicabut SIT-nya, hanya saja dibelakang namanya harus diembel-embeli kata “Baru”.

Demikian keputusan hakim. Jaksa Slamet Kirnanto tidak merasa puas dan menyatakan naik banding ke pengadilan yang lebih tinggi. Dan hakim membolehkan dilain waktu dan di kota lain.


D. Tanggapan Dari Tokoh-Tokoh yang Dibahas dalam Acara tersebut

1. Goenawan Mohammad

Goenawan memberikan penilaian baik terhadap acara Pengadilan Puisi Indonesia sebagai bentuk diskusi yang menarik dibanding sebelumnya yang membosankan atau kurang daya tarik. Walaupun ia tidak ada disana karena tidak mendapatkan undangan sebagaimana yang lain. Tidak menjadi masalah sebab ia juga sedang sibuk menulis.

Mengenai tuntutan Slamet Kirnanto, Goenawan mengatakan bahwa itu merupakan gerutu lama dan klise itu hanya sebuah bentuk kontroversial untuk menarik khalayak supaya berkerumun. Selain membahas tuntutan jaksa, Goenawan juga membahas hakim, isi pembicaraan, tentang penyair yang sudah “Established” dan tentang kehidupan puisi.

Menurutnya hakim dalam acara tersebut adalah burung hantu bukan burung merak. Dan yang lebih penting ia mendapat kesan dari pembicaraan dalam “pengadilan” itu bagaimana para penyair sibuk dengan dirinya sendiri seolah-olah keadaan mereka yang paling gawat kala itu dan merekalah yang diperlakukan tidak adil di Indonesia kala itu juga oleh para kritikus dan majalah. Selanjutnya masalah penyair yang sudah Established, ia membiarkan saja sebab setiap seniman akan memperoleh dan memperlihatkan pola tertentu, pantulan dari kepribadiannya. Menurutnya perubahan  selamanya berarti perubahan dari sesuatu dan yang tetap. Dan yang terakhir tentang kehidupan puisi jikalau nantinya subagio, Rendra, Taufiq dan lainnya tidak lagi menghasilkan sesuatu pun yang berharga, tidak usah panic cukup baca kembali buku-buku puisi yang dulu atau yang lain yang masih kita senangi atau kalau mau buat sendiri. Sebab tokoh kita menurutnya adalah puisi bukan penyair. Yang kita butuhkan adalah puisi yang berharga hingga yang lebih baik.


2. M.S. Hutagalung

Pada dasarnya “pengadilan puisi” yang diadakan di bandung tidak banyak member kesan kepada Hutagalung. Yang pertama berbagai macam pertanyaanya terlalu umum dan hampir tidak ada artinya karena sering tidak didukung oleh argumentasi dan pembuktian yang ada seperti tidak ada puisi setelah Chairil Anwar. Ia juga mengatakan agar jangan timbul kesan bahwa ia dengan penuh emosi dan kemarahan akan tampil pada forum tersebut. Ia juga membahas pembicaraan Slamet yang membanggakan dan menonjolkan Sutardji, mengamuk dan bertanya “Apakah kritik sastra diIndonesia telah mati sebelum hidup?” Lantas Hutagalung memberikan pendapatnya bahwa pendapat Slamet itu bau apak karena kelambatan kritikus untuk membicarakan Sutardji bukanlah alasan bahwa kritik sastra tidak ada. Dari mulai sampai akhir dakwaan Slamet, Hutagalung mengatakan bahwa slamet telah menyeleweng dari mau mengadili pusis telah mengarahkan dakwaannya pada kritikus dan beberapa penyair yang dianggap telah mapan. Dari semua tulisan yang ia tulis sebagai jawaban atas Slamet Kirnanto pada buku PENGADILAN PUISI ada empat poin yang penting, yaitu:

1)      Pandangan-pandangan Slamet Kirnanto adalah pandangan yang tidak sehat, bau apak yang cukup berbahaya bagi generasi muda, terutama karena ia menganggap dirinya sebagai pembela seniman-seniman muda.
2)      Hutagalung berpendapat bahwa sebuah pertanyaan tidak ada harganya tanpa disertai bukti-bukti.
3)      Tidak benarnya bahwa puisi Indonesia brengsek adalah akibat kesalahan para kritikus. Itu hanya sudut pandang Slamet saja yang brengsek dan perkembangan sastra tidak hanya ditentukan oleh beberapa kritikus.
4)      Untuk menilai seseorang, lebih baik langsung meneliti karyanya.


3. Sapardi Djoko Damono

Pada saat diselenggarakannya pengadilan puisi Indonesia memang Sapardi menerima undangan untuk turut hadir namun karena kendala kesehatan maka ia tidak bisa datang. Setelah membaca naskah tuntutan Slamet Kirnanto yang diperoleh dari Pamusuk Eneste ia merasa tidak sesuatu yang kocak sebagaimana cerita beberapa teman yang ikut hadir dalam acara tersebut. Sapardi menyimpulkan bahwa tuntutan Slamet Kirnanto itu ditulis dengan bahasa yang buruk, tidak berisi hal-hal baru, dan tidak kocak.
Barangkali kita harus harus menghargai keberanian Slamet yang tampil di Bandung pada acara itu. Namun Sapardi berpendapat bahwa Slamet adalah tokoh yang terlalu serius untuk pertemuan semacam itu. Suasana pasti akan lebih kocak seandainya Darmanto Jt yang menjadi Jaksa. Dan harus kita hargai kecerdikan akal Darmanto Jt yang telah menghasilkan sebuah pertemuan yang unik.


4. H.B. Jassin

Saat diselenggarakannya pengadilan puisi Indonesia H.B. Jassin tidak turut hadir sebab tidak ada undangan untuknya. Ia baru mengetahui setelah dua hari diselenggarakan acara tersebut setelah membaca laporan “Pengadilan Puisi Kontemporer” dalam harian Kompas tanggal 10 September 1974. Sebelum mengetahui secara pasti Jassin mengira bahwa acara tersebut bersifat pengadilan imajiner yang disusun oleh pelapornya dari bahan-bahan yang dikumpulkannya dengan mewawancarai orang-orang yang ditampilkan dalam laporannya itu. Namun setelah ia tahu dari para mahasiswa bahwa “pengadilan” itu benar-benar terjadi, terwujud bukan  sekadar imajiner, nyata. Kesan pertama kali Jassin ialah bahwa laporan tersebut mengandung kelakar yang sehat dan memang seharusnya begitu. Tapi rupanya tidak semua orang yang hadir menangkap maksud yang sesungguhnya, ia menelaah dengan mentah sehingga sebagian merasa tidak puas dan merasa kecewa jauh-jauh datang hanya melihat pertunjukan konyol bahkan orang yang tidak tahu secara pasti dan hanya mengetahui dari surat kabar ada yang salah paham maka terjadilah bahwa ada yang marah dan ada yang tertawa.

Jassin sempat menanyakan pada dirinya sendiri bahwa ia masuk dalam  golongan yang mana? Dan ia memasukkan dirinya sendiri dalam golongan ketiga namun bukan yang merasa marah. Dalam permasalah ini Jassin mencoba memperjelaskan. Terdakwa adalah Puisi Indonesia Mutakhir sedangkan para pengadil adalah penyair Indonesia Mutakhir, lalu apakah mereka mengadili diri sendiri? Bisa dikatakan seperti itu jika para pengadil tidak merasa bersalah dan sekedar hendak mengadili penyair puisi yang bersalah. Dan sudah seharusnya dalam pengadilan ini turut dihadirkan para penyair dan kritikus untuk mempertanggungjawabkan yang disebut sebagai dosa-dosanya. Begitu juga dengan Kitab Undang-undang Hukum Puisi seharusnya disebarluaskan sebagai peganggan umum namun dalam kenyataannya buku tersebut tidak ada.

Beralih kepada rumusan dakwaan  apakah benar-benar situasi perkembangan sastra, khususnya puisi Indonesia sudah tidak sehat dan apakah maksud dengan pembaratan dan kebarat-baratan? Sebenarnya itu hanya kebetulan saja lahir dibarat dan tidak perlu dipermasalahkan. Dan coba kita bayangkan bagaimana kesusastraan tanpa teori-teori barat seperti: psikoanalisis, eksistensialisme, marxisme dan lain-lain. Dan bukankah pengarang Indonesia tidak sedikit yang terpengaruh oleh buku bacaan. Jangan sampai kekurangmengertian pendakwa menjatuhkan korban-korban yang tidak bersalah.

Intinya dalam permasalah ini H.B. Jassin menjadi tokoh penjelas dan pelurus dari tuduhan-tuduhan pendakwa dan mengajak semuanya untuk berpikir lebih luas dan mendasar jangan sampai terpuruk dalam satu sudut pandang.

E. Hasil Akhir

TIGA BELAS hari kemudian, di Teater Fakultas Sastra Universitas Indonesia diadakan suatu majelis dengan judul “Jawaban Atas Pengadilan Puisi”. Dengan empat pembicara utama, yaitu H.B. Jassin, M.S. Hutagalung, Goenawan Muhammad, dan Sapardi Djoko Damono.

Anehnya, Slamet Kirnanto di acara tersebut meminta maaf, sehingga menjadi  ruwet.  Tapi tidak masalah, sudah lama orang tidak “bermarah-marah” dalam lalu-lintas sastra Indonesia. Ini semua ulah ide Darmanto dan tuntutan Slamet Kirnanto yang membuat orang-orang berang. Memang tidak semua lelucon itu lucu bagi semua orang dan tidak semua orang sakit gigi suka berlucu-lucu, dan tidak semua orang suka diperiksa kesehatan giginya (Taufiq Ismail).